Suatu hari, di dalam patas AC menuju bilangan Sudirman, terlihat pasutri muda yang terlibat ‘perbincangan hangat’. Mereka adu argumentasi tentang rencana persiapan dana pendidikan anak. Si istri yang konservatif dan ingin semuanya serba aman, menentang paparan suami tentang rencana dana pendidikan menggunakan instrumen investasi yang agresif.
Si suami setengah mati berupaya meyakinkan istrinya, kalo hanya mengandalkan simpanan biasa, dana yang harus disisihkan cukup besar. Padahal jika ditambahkan instrumen lain seperti reksadana misalnya, ada potensi efisiensi penyisihan dana mengingat jangka waktu investasi yang terbilang panjang.
Berikut adalah hasil coret-coretan rencana dana pendidikan SMA, dengan asumsi usia anak 0 tahun:
Jenjang Sekolah | Komposisi Instrumen | Sekolah Negeri | Sekolah Swasta |
SMA | Deposito | 149,185.23 | 248,642.04 |
| Depo & RD | 119,077.43 | 198,462.39 |
| Depo, RD & Saham | 96,415.68 | 160,692.80 |
Dari tabel di atas, terlihat bahwa dengan persiapan dana pendidikan melalui reksadana (dan) saham memungkinkan penghematan hingga 30%!
Dia lebih lanjut menceritakan tentang pengelolaan resiko. Salah satunya adalah dengan membagi dana pendidikan jadi dua tenor. Dana untuk TK dan SD dianggap jangka pendek, sehingga dipilih instrumen yang aman, tabungan dan deposito. Sedangkan untuk pendidikan menengah ke atas, sebagian dana bisa disisihkan untuk instrumen yang lebih beresiko, tentunya dengan mengharap imbal hasil yang lebih tinggi. Di samping itu, dengan menyeimbangkan portfolio dari waktu ke waktu, dana kelolaan selalu dapat disesuaikan dengan profil resiko yang disukai.
Setelah mendengar penjelasan terakhir tersebut, si istri terlihat cukup dapat menerimanya. Tapi hanya setelah si suami berjanji untuk menaruh seluruh jatah tabungan dana pendidikan di deposito, hingga keadaan ekonomi membaik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar