Rabu, 18 Maret 2009

Syarat-syarat Evaluator

SYARAT MENJADI EVALUATOR SEBAGAI BERIKUT:

  1. Mampu melaksanakan, adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan praktik.
  2. Cermat, adalah mereka dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, adalah mereka tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.
  4. Sabar dan objektif, adalah agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
  5. Hati-hati dan bertanggung jawab, adalah melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung risiko atas segala kesalahannya.

Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat dikalsifikasikan menjadi dua macam, yaitu evaluator dalam (internal evaluator) dan evaluasi luar (eksternal evaluator).

Internal Evaluator adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari internal evaluator yaitu:

Kelebihan:

Pertama, Evaluator memahami betul program yang dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain evaluasi tepat pada sasaran. Kedua, Karena evaluator aalah orang dalam, pengambil keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.

Kekurangan:

Pertama, Adanya unsure sebjektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif. Kedua, Karena sudah memahami seluk beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehinga kurang cermat.

Eksternal Evaluator adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau berada di luar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri, maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team.

Kelebihan:

Pertama, Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada kepentingan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan kenyataan dan keadaan. Kedua, Seorang ahli yang dibayar biasanya akan memprtahankan kredibibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.

Kekurangan:

Pertama, Evaluator luar adalah orang baru yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dn mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Kedua, Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.

Untuk menghasilkan evaluasi yang baik, maka petugas evaluasi harus berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program digabung dengan orang-orang dari luar. Sedangkan perbedaan menonjol antara evaluator luar dengan evaluator dalam adalah adanya salah satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak-tahu menahu dan tidak berkepantingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.

EVALUASI BAHAN BELAJAR BERBASIS WEB (In

oleh
Ika Kurniawati

Pengertian evaluasi menurut para ahli seperti dikemukakan oleh Kaufman dan Thomas (1980) merupakan proses untuk menaksir kualitas dari apa yang sedang berlangsung. Pada evaluasi menuntut adanya kriteria tertentu untuk menentukan kualitas dari apa yang dievaluasi.
Evaluasi bahan belajar pada dasarnya merupakan suatu proses pengumpulan data untuk menentukan kualitas bahan belajar tersebut. Kaitan dengan bahan belajar berbasis web, yang dimaksud disini adalah bahan belajar yang disajikan melalui internet.
Evaluasi bahan belajar disini apabila ditujukan untuk menentukan keberhasilan atau menilai tentang kelebihan dan kelemahan sesuatu ketika masih dalam tahap pengembangan maka disebut evaluasi formatif. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Scriven (1967), evaluasi formatif diistilahkan sebagai proses revisi atau pengujian pengembangan. Sedangkan apabila ditujukan untuk menentukan keberhasilan suatu program setelah program tersebut telah melalui tahap implementasi untuk menentukan keefektifannya, maka dikenal dengan evaluasi sumatif.
Berkenaan dengan evaluasi bahan belajar berbasis web, kalau tujuannya untuk mengukur kualitas bahan belajar tersebut dalam rangka perbaikan/revisi program berarti evaluasi formatif. Tetapi apabila berkenaan dengan pemanfaatan program itu sendiri, berarti evaluasi sumatif.
Keputusan yang diperoleh dari hasil evaluasi tersebut juga berbeda. Keputusan hasil evaluasi formatif berupa perlunya revisi atau perbaikan pada bahan belajar berbasis web atau tidak. Sedangkan hasil evaluasi sumatif adalah keputusan untuk menggunakan atau tidak bahan belajar berbasis web tersebut.

Evaluasi Hasil Belajar dan Pembelajaran

Oleh : Ishak W. Talibo

Abstrak

Evaluasi adalah kegiatan mengukur dan menilai. Mengukur lebih besifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif. Namun secara umum orang hanya mengidentikkan kegiatan evaluasi sama dengan menilai, karena aktifitas mengukur sudah termasuk didalamnya. Dan tak mungkin melakukan penilaian tanpa didahului oleh kegiatan pengukuran. Pengukuran dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil tes terhadap standar yang ditetapkan. Perbandingan yang telah diperoleh kemudian dikualitatifkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Evaluasi merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran. Dia adalah salah satu alat untuk menentukan apakah suatu pembelajaran telah berhasil atau tidak. Evaluasi keterampilan berbahasa umumnya dilakukan dalam dua bentuk yaitu evaluasi secara tertulis dan evaluasi secara lisan .
Artikel ini membahas tentang pengertian evaluasi, syarat-syarat umum evaluasi, evaluasi hasil belajar, dan evaluasi pembelajaran.

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang

oleh Drs. Nurkolis, MM

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi

Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.

Paradigma Baru Pembiayaan Pendidikan

Oleh Fariastuti

AP Post 19 Juli 2003 memuat tulisan kolega saya Aswandi yang membahas paradigma baru pembiayaan pendidikan yang mencakup prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Aswandi juga menggarisbawahi tuntutan masyarakat yang menghendaki biaya pendidikan murah (kalau bisa gratis) yang menurut beliau merupakan cermin ketidakpahaman masyarakat akan paradigma baru pembiayaan pendidikan.

Saya setuju dengan paradigma baru pembiayaan pendidikan. Namun paradigma baru tersebut hanya akan terwujud jika ada kebijakan yang didasarkan pada pengetahuan yang cukup tentang kompleksitas lembaga pendidikan formal dan masyarakat. Penyederhanaan masalah dalam melihat lembaga pendidikan dan masyarakat dapat menyebabkan paradigma baru hanya sekedar formalitas dan menyimpang dari tujuan yang sebenarnya.

Prinsip keadilan sampai sekarang sulit terwujud antara lain karena sistem pendidikan yang memiliki banyak kelemahan. Subsidi Pemerintah ke sekolah-sekolah negeri terutama untuk SMP dan SMU di kota yang banyak penduduk, lebih dinikmati keluarga kaya daripada keluarga miskin. Hal ini terjadi karena sistem seleksi yang berdasarkan rata-rata nilai kelulusan sekolah sebelumnya. Untuk SD negeri, ketidakadilan bagi masyarakat miskin terjadi jika sistem seleksi didasarkan misalnya pada kemampuan membaca dan telah bersekolah di TK.

Tanpa mengabaikan ada anak keluarga kaya yang nilai kelulusannya rendah dan anak keluarga miskin yang nilai kelulusannya tinggi, secara umum nilai kelulusan yang tinggi terdapat pada anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Mereka inilah yang umumnya lolos seleksi sekolah-sekolah negeri "favorit". Mencari anak keluarga miskin di sekolah-sekolah tersebut bukan hal mudah. Mereka yang tidak lolos seleksi dan tidak mampu secara ekonomis terpaksa memasuki sekolah-sekolah swasta "miskin" yang kurang mendapatkan subsidi.

Paradigma keadilan dan juga efisiensi sulit terwujud karena lembaga pendidikan tidak steril dari individu pendidik yang memanfaatkan posisi lemah orangtua murid untuk mendapatkan keuntungan. Ada orangtua yang mengeluh biaya pagar yang setiap tahun diminta sekolah sementara jumlah dan mutu pagar sekolah tidak setiap tahun bertambah. Lebih celaka lagi kalau sekolah yang sama mengajukan anggaran pembuatan pagar kepada Pemerintah dan disetujui, yang berarti telah terjadi pembiayaan ganda.

BP3 yang secara formal dianggap sebagai perwakilan orangtua murid tidak selalu mampu mewakili kepentingan orangtua murid yang status sosial ekonominya bervariasi. Ada kecenderungan orangtua miskin enggan menghadiri pertemuan sekolah apakah karena minder, lebih mementingkan mencari sesuap nasi bagi keluarga atau kurang peduli (jangan lupa, ada anak keluarga miskin yang membiayai sekolah sendiri karena kemauan mereka bersekolah lebih kuat dibandingkan dengan kemauan orangtua), apalagi menjadi pengurus BP3. Kualitas keputusan yang melibatkan BP3 akhirnya tergantung pada tingkat empati pengurus BP3 terhadap orangtua miskin baik yang sudah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota karena anaknya baru dalam proses pendaftaran.

Biaya pendidikan terdiri dari banyak komponen yang perlu dilihat secara kritis. Misalnya, salah satu komponen yang membuat biaya pendaftaran murid baru tinggi adalah baju seragam termasuk baju olahraga. Dalam hal ini, baju seragam telah dilihat dengan cara pandang orang mampu yaitu baju seragam diperlukan untuk mengurangi kesenjangan baju sekolah antara anak keluarga kaya dan miskin.

Upaya "menutup" kemiskinan dengan baju seragam apalagi dengan mewajibkan pembelian baju di sekolah dapat memunculkan ketidakefisienan di samping sangat memberatkan orangtua miskin. Pemberian baju seragam bekas layak pakai akhirnya tidak banyak membantu meringankan beban orangtua miskin.

Alangkah ironisnya jika kita puas dengan "kesamaan derajat" yang artifisial dengan menyeragam.

Proses Pembelajaran yang Membelenggu

Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu1. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya,s ebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.

Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalanga kita sendiri memam\ng terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.

Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu”2. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit demi sedikit3. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.

Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif4. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani ketika misalnay disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding tempat penjara.

Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya..5 Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.6 Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.7

Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank(banking action) ini.8 Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal(memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya.9 Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini.

Selanjutnya pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:

- guru mengajar, murid diajar

- guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa

- guru berfikir, murid dipikirkan

- guru bercerita, murid patuh mendengarkan

- guru menentukan peraturan, murid diatur

- guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya

- guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.

- guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanoa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.

- guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid

- guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka10

Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.

Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative.11 Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya.12 Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.

Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.

PENELITIAN PEMBELAJARAN VISIONER:

Topik penelitian pembelajaran berpikir dan pemecahan masalah mendapat perhatian besar dari para peneliti bidang psikologi pada tahun 1980-an. Perhatian tersebut didasarkan pada adanya perubahan dan tantangan yang cepat dalam masyarakat yang memerlukan manusia berkemampuan memecahkan masalah (Bransford, dkk., 1986; Marzano, dkk., 1988; Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Jika kemampuan memecahkan masalah telah diperoleh, seseorang tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, akan tetapi juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari (Gagne, 1985; Gagne, 1977; 1985; Bransford, Sherwood, dan Reiser, 1986; Siegler, 1991).

Penelitian ini sangat urgen dilakukan untuk menyediakan temuan empirik bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Topik pembelajaran berpikir dan pemecahan masalah mendapat perhatian besar dari para peneliti bidang psikologi pada tahun 1980-an. Perhatian tersebut didasarkan pada adanya perubahan dan tantangan yang cepat dalam masyarakat yang memerlukan manusia berkemampuan memecahkan masalah (Bransford, dkk., 1986; Marzano, dkk., 1988; Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Jika kemampuan memecahkan masalah telah diperoleh, seseorang tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, akan tetapi juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari (Gagne, 1985; Gagne, 1977; 1985; Bransford, Sherwood, dan Reiser, 1986; Siegler, 1991).

Dengan mengacu pada pernyataan tersebut di atas, penelitian yang akan dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dalam ruang lingkup yang berkaitan dengan “Program Pemecahan Masalah Masa Depan” (Future Problem Solving Program), dengan dimensi-dimensi: Pengembangan Model Pedidikan, Pembelajaran, dan Pelatihan, Pengembangan Kurikulum, Pengembangan Sumber Belajar/Bahan Ajar Multi Media, Pengembangan Strategi Pembelajaran, Pengembangan Alat Evaluasi, Pengembangan berpikir kreatif, Berpikir kritis dan analitis, Pengembangan keterampilan komunikasi verbal dan tulisan, Strategi pemecahan masalah, Memecahkan masalah kesenjangan kehidupan sekolah dengan dunia nyata. Ruang lingkup dan tema tersebut perlu dikembangkan untuk semua kelompok bidang studi, misalnya: Pembelajaran Berbasis Masalah Matematika, Biologi, Fisika, Ilmu-ilmu Sosial, Bahasa, Agama, Pendidikan Jasmani dan Olahrara, dan sebagainya.

Kegiatan penelitian pembelajaran dengan domain khusus pemecahan masalah ini sudah dilakukan oleh peneliti sejak tahun 1996 sampai sekarang. Puncak kegiatan yang secara intensif berkaitan dengan penelitian pembelajaran pemecahan masalah adalah penelitian disertasi untuk menyelesaikan pendidikan doktor (S3). Berikut adalah judul-judul penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan topik penelitian ini sebagai berikut.

  1. Kapabilitas pemecahan masalah matematika siswa sekolah dasar di Kodya Malang. Dana DIP IKIP Malang. Ketua. (1996)
  2. Survey Model Strategi Pembelajaran pada Kelas/ Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Jawa Timur. Tahun Pertama. Penelitian Hibah Bersaing VII/1 Dirbinlitabmas, Ditjendikti. Ketua. (1998, 1999, 2000)
  3. Kajian Teoretik Perilaku Mengajar, Sikap Guru di Kelas dan kapabilitas Pemecahan Masalah Siswa Sekolah Dasar. Penelitian Dasar dari Dirbinlitabmas Ditjendikti. Anggota kelompok. (1999).
  4. Proses Pemecahan Masalah Soal Cerita siswa SD Kelas Tiga. Disertasi. (2001).
  5. Proses Pemecahan Masalah Soal Cerita Siswa Sekolah Dasar Kelas Tiga (Disertasi). Mandiri. (2001)
  6. Pengembangan Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Melalui Computer-Based Instruction Siswa Kelas Unggulan SD. Tahun Pertama. Penelitian Hibah Bersaing X/1 Dirbinlitabmas, Ditjendikti. Ketua. (2002, 2003, 2004)
  7. Evaluasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Indonesia. Penelitian didanai oleh Balitbang dan Unesco. Anggota Peneliti. 2005.
  8. Evaluasi Program Kemitraan Kepala Sekolah: Manajemen, Pembelajaran, dan Partisipasi Masyarakat. Direktorat Tenaga Kependidikan, Ditjen PMPTK. 2006.
  9. Evaluasi Program Manajemen Berbasis Sekolah: Manajemen, Pembelajaran, Pemberdayaan Masyarakat. Badan Perencanaan nasional. 2006.

Tema penelitian berkaitan dengan program pemecahan masalah masa depan masih sangat terbuka, mengingat tema penelitian ini masih berupa hutan belantara di Indonesia. Oleh karena itu, kami mengajak rekan sejawat peneliti dan dosen perguruan tinggi di Indonesia untuk bersama-sama mengkaji tema tersebut melalui kerjasama penelitian.

Penelitian yang sedang dilakukan adalah mengembangkan Model Pembelajaran Visioner yang didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Ditjen Dikti Depdiknas tahun 2008, ini akan membangun jembatan antara konteks pembelajaran yang bersifat teaching-based, instructor-mediated ke arah konteks pembelajaran yang bersifat learning-based. Keuntungan yang akan diperoleh melalui penelitian ini terutama untuk menyediakan sumber-sumber belajar bagi mahasiswa yang berpeluang untuk mengembangkan setiap individu mencapai kemampuan optimal dalam memecahkan masalah masa depan.

Perguruan Islam - Sarana Prasarana

Perguruan Islam Raudlatul Jannah Sidoarjo memiliki satu kampus yaitu TPQ - PG - TK - SDI Raudlatul Jannah berada di jalan Jatisari Permai X/2 Pepelegi Waru Sidoarjo.

PG - TK Raudlatul Jannah Sidoarjo
Terletak di jalan Jatisari Permai I/2 Pepelegi Waru Sidoarjo. Menempati tanah seluas 504 m2 dengan bangunan seluas kurang lebih 390 m2 dengan bangunan berlantai satu. Bangunan tersebut terdiri dari 1 kelas Play Group, 5 kelas TK dan 1 ruang Pusat Sumber Belajar. Adapun fasilitas yang ditawarkan adalah ruang kelas ber-AC yang nyaman dengan sistem sentra. Ada 7 sentra, yaitu : sentra sains, seni, persiapan, ibadah, musik, olah tubuh, balok, keluarga (multimedia, ruang bermain dalam perpustakaan, komputer, TV).

SDI Raudlatul Jannah
Menempati tanah seluas kurang lebih 1866 m2 di jalan Jatisari Permai X/2 Pepelegi Waru Sidoarjo. Diatasnya didirikan dua bangunan seluas kurang lebih 2467,5 m2 terdiri dari 3 lantai. Sisanya digunakan untuk halaman dan taman sebagai fasilitas bermain anak-anak. Dua bangunan di atas terdiri dari 15 ruang kelas berukuran 7 x 8 dengan fasilitas AC. Kemudian ada pula laboratorium komputer, perpustakaan, ruang UKS, ruang KS, ruang PSB, Hall, ruang KS & Tata Usaha, ruang Guru dan Kamar Mandi serta Tempat Wudhu yang nyaman.

Pentingnya Perpustakaan On-Line dan Perubahan Dimensi Pustakawan Sekolah di Era ICT

Sudah saatnya bagi siswa di era informasi ini untuk menjadi e-citizen yang memiliki keterampilan informasi yang tinggi. Sejak usia muda siswa sudah perlu dibiasakan dengan e-library dan e-learning. Hal ini hanya dapat terjadi bila perpustakaan itu berubah dan diberdayakan. Dengan jejaring yang ada di Indonesia sekarang, perpustakaan on-line sebenarnya sudah dapat diupayakan. Seorang pustakawan sekolah yang on-line memiliki tanggung jawab baru; salah satunya adalah aksesibilitas, yang dapat memfasilitasi siswa untuk belajar dengan lebih bermakna dan belajar untuk menyelesaikan persoalan hidup yang sebenarnya. Bukan hanya siswa di daerah urban saja yang membutuhkan perpustakaan online. Sebenarnya, semakin terpencil mukim seorang siswa semakin dia membutuhkan perpustakaan on-line. Dengan demikian dapat terwujud keadilan sosial bagi setiap warga negara.
A. Pendahuluan
Makalah ini ditulis karena ada permasalahan mendasar yang dihadapi perpustakaan sekolah di era informasi. Di era informasi ini perpustakaan sekolah di Indonesia pada umumnya masih belum cukup memadai, tetapi kita telah dihadapkan kepada perlunya perpustakaan on-line. Perpustakaan sekolah perlu beralih dari perpustakaan tradisional menjadi perpustakaan modern yang lebih sering disebut dengan pusat sumber belajar atau Learning Resource Center, atau Electronic Resource Center. Bila dalam penyediaan perpustakaan sekolah tradisional, kita telah dihadapkan pada permasalahan bagaimana menyediakan dana untuk mendapatkan koleksi bermutu yang mencukupi, dan setiap saat supaya dapat dilakukan penyiangan dan perbaruan koleksi, dengan perpustakaan on-line kita tentu dituntut untuk menyediakan biaya yang lebih besar. Terlebih lagi, metode dan teknik baru terus bermunculan dengan kecepatan yang semakin tinggi. Dalam kondisi yang seperti ini, kita membutuhkan jaringan internet ICT, bandwidth yang bagus, jumlah komputer yang cepat dalam jumlah yang mencukupi, dana yang cukup untuk dapat
mengakses data base, dan juga SDM yang mencukupi untuk pemeliharaan peralatan yang canggih tersebut. Tentunya kita juga perlu melatih kembali para pustakawan sekolah, dan membangun sistem pendidikan yang memberdayakan perpustakaan, dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan. Di tempat-tempat terpencil yang mengalami kesulitan sambungan listrik, perlu juga disediakan sistem tenaga sinar matahari dan generator. Bus dapat juga disediakan untuk pelayanan perpustakaan dengan ICT, seperti yang dilakukan di Sarawak, Malaysia (Bolhassan & Razali, 2007). Hanya dengan demikian, kita dapat mempersatukan semua anak sekolah di antara 230 juta penduduk Indonesia yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dalam jejaring internet.
Memang pemanfaatan ICT perlu dimasyarakatkan bilamana perbedaan antara yang kaya dan miskin ingin semakin diciutkan. Akses kepada internet tidak dapat dihindari bila pemerataan mutu pendidikan ingin diupayakan. Sebenarnya semakin terpencil suatu wilayah, semakin wilayah tersebut membutuhkan internet. Pada saat ini jaringan ICT untuk pendidikan di Indonesia telah memiliki pilihan keterhubungan dengan:
(a) Internet Dikmenjur & BKLN dengan nama Jejaring Diknas, yang terhubungkan dengan Internet Indonesia dan Internet Internasional, tetapi memiliki bandwidth yang relatif terbatas
(b) Internet Dikti dengan nama INHERENT, yang memiliki bandwidth cukup lebar tetapi hanya memiliki cakupan koneksi antar perguruan tinggi di Indonesia saja
(c) Internet Indonesia (IIX)
(d) Internet Internasional
Jadi, sekalipun Indonesia memiliki tantangan yang besar dalam pengadaan on-line library, modal awal berupa fasilitas jaringan internet sudah termiliki, sehingga sebenarnya kita sudah dapat mulai memasyarakatkan on-line library bagi pendidikan di seluruh tanah air. Halangan pertama yang kita hadapi adalah ketika kita mulai meragukan pengadaan dananya. Seharusnya keterbatasan dana tidak dianggap sebagai beban, tetapi digunakan sebagai sebuah awal ketahanan dan kekreatifan dalam pengadaan akses dan kesempatan bagi setiap warga negara untuk diberdayakan oleh teknologi tersebut. Halangan untuk memperoleh akses dalam penggunaan teknologi ini sebenarnya masih dapat diatasi bilamana pemerintah lokal, pusat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan pengusaha secara bersama-sama bekerja untuk mewujudkan harapan ini. Tanpa upaya semacam ini tidaklah mungkin e-learning terjadi.
Selain itu, di era informasi yang terkoneksi ini, komputer yang tak terhubungkan dengan internet adalah komputer yang memiliki fungsi sangat terbatas. Internet dan konektivitas adalah sarana yang memungkinkan setiap warga negara menurut keadilan sosial memperoleh informasi dan pendidikan, termasuk pendidikan sepanjang hayat, untuk perolehan kehidupan yang lebih baik.
Kata kunci yang penting untuk pemberdayaan warga negara melalui jejaring ICT bagi perpustakaan adalah aksesibilitas, konektifitas, pendidikan, dan materi. Yang dimaksud dengan aksesibilitas itu adalah keterjangkauan untuk memiliki atau menggunakan komputer, dan mendapatkan konten yang relevan. Yang dimaksud dengan konektivitas adalah keterhubungan komputer dengan internet. Komputer adalah alat untuk memasuki dunia informasi dan sumber daya global. Dengan komputer yang terhubungkan dengan internet, pendidikan dapat semakin berfungsi dalam membangun tenaga kerja yang terampil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik secara individual maupun sosial. Pendidikan berteknologi tinggi semakin dibutuhkan pada jaman yang keterampilan membaca, menulis dan berhitung saja ternyata tak cukup untuk menjadi warga negara yang produktif. Yang dimaksud dengan materi adalah bagaimana internet itu memberikan informasi dalam bahasa yang dikenal oleh pengguna, memperhatikan hukum dan budaya yang ada pada masyarakat pengguna, informasi yang relevan, sumber daya dan pelayanan yang tersedia. Yang dimaksud dengan kekuatan untuk mentransformasi adalah kemampuan dari teknologi untuk memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomis. Kemampuan untuk mentransformasi ini tidak dapat muncul begitu saja dari pemerintah, mitra industri, dan LSM secara terpisah-pisah, tetapi perlu ada kerjasama dari ketiganya untuk menciptakan kesempatan bagi masyarakat dalam mengubah kehidupannya (Davies, 2007).
Sebenarnya Indonesia boleh dikata masih agak lambat dalam merespon kebutuhan akan ICT. Afrika, misalnya, telah dipersatukan oleh ITOCA (Information Training and Outreach Centre for Africa) yang menyediakan perpustakaan online dengan biaya rendah (Lwoga et al., 2007). Selain itu, setiap negara juga telah membangun perpustakaan on-line dan sekaligus e-learning, seperti Afrika Selatan dengan Electronic Resource Centres-nya (Agyei, 2007). Terlebih lagi Singapura, sebagai salah satu negara yang terkaya di Asia, masyarakat Singapura tidak saja dibangun menjadi masyarakat yang selalu mencari informasi, tetapi mencari informasi dalam lingkungan masyarakat berbasis pengetahuan atau knowledge-based society. Hanya dengan demikian, mereka dapat mengidentifikasi, mengelola, dan menggunakan informasi secara bermakna, baik dari bahan cetak maupun dari bahan elektronik; bahkan mereka telah menyebut diri mereka sebagai e-citizens. Artinya, suatu masyarakat yang hidup, bekerja dan bermain secara on-line. Hampir tak mungkin seorang anak tidak belajar secara on-line, kelompok masyarakat yang senior pun dilatih kembali untuk menggunakan teknologi informasi (Munoo & Narayanan, 2005).

B. Perpustakaan Menjadi Semakin Penting dalam Proses Pembelajaran Masa Kini
Pada masa lalu pembelajaran lebih bersifat menghafalkan bahan-bahan yang sudah ditentukan sebelumnya. Pembelajaran tidak terlalu mengedepankan rasa ingin tahu, inisiatif dan kemampuan kritis siswa. Siswa juga mendapatkan ijazahnya dari ruang kelas fisik dengan terlebih dahulu bertatap muka secara teratur dengan guru. Dalam konteks belajar seperti ini perpustakaan selalu diakui penting, tetapi tidak wajib. Pembelajaran semacam ini semakin ditinggalkan pada era informasi yang ilmu dan teknologi telah berkembang dengan sangat cepat.
Belajar di jaman sekarang adalah untuk membangun makna, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan. Belajar itu sedapat mungkin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup yang sebenarnya, kegiatan untuk berpikir, berkomunikasi dan belajar yang dibangun di atas pengetahuan dan pengalaman siswa sebelumnya. Dalam konteks yang seperti ini, perpustakaan yang dibutuhkan adalah perpustakaan yang memungkinkan siswa mengakses informasi secara elektronik, dan pustakawan adalah tenaga kependidikan yang dapat menawarkan bimbingan dan bantuan belajar yang dapat terus merangsang pengguna perpustakaan untuk terus mencari informasi yang bermanfaat (Wang & Hwang, 2004)
Pada dasarnya siswa perlu memiliki keberwacanaan informasi (information literacy) atau keterampilan informasi (information skill), yang meliputi:
(a) mengenal kebutuhan akan informasi,
(b) mengetahui bagaimana secara tepat mengidentifikasi dan mendefinisikan informasi yang dibutuhkannya,
(c) mengetahui di mana mendapatkan informasi secara efisien,
(d) menyatukan informasi yang diperoleh ke dalam kesatuan pengetahuan yang dimiliki, dan
(e) menggunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
Selain keterampilan dasar di atas, keberwacanaan informasi di Amerika juga menghendaki siswa untuk mengetahui bagaimana menggunakan informasi secara etis dan legal. Di Australia, siswa juga harus tahu bagaimana menggunakan informasi untuk belajar sepanjang hayatnya dan bagaimana untuk menjadi warga negara yang berguna. Di Inggris siswa juga diharapkan untuk dapat menggunakan informasi yang ada untuk menciptakan informasi baru.
Pada masa sekarang karateristik masyarakat semakin kompleks. Masalah yang ada di masyakarat juga semakin rumit. Untuk memahami karateristik masyarakat. kita semakin pula membutuhkan sarana yang semakin mutidisipliner. Belajar juga tidak lagi terbatas di bangku sekolah. Belajar sepanjang hayat semakin dihayati sebagai unsur yang penting dalam mengembangkan profesionalisme, kemungkinan untuk dapat terus mempertahankan pekerjaan, dan menjadi warga negara yang dapat membantu meminimalisasi perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Belajar sepanjang hayat menyatukan pendidikan informal, formal dan non-formal (Ghosh & Sevukan, 2006).

C. Kapan Pustakawan Sekolah Mulai Memperkenalkan Siswa kepada Internet?
Pustakawan tidak perlu ragu mengubah perpustakaan fisik menjadi perpustakaan on-line pada jenjang pendidikan yang manapun. Hampir tidak mungkin kita dapat membantu anak untuk menjadi pencari informasi bila anak tidak pernah diperkenalkan kepada Teknologi Digital (TD) yang semakin menguasai dunia komunikasi, hiburan dan ungkapan kreatif. TD bagi anak di era informasi ini tidak ubahnya seperti kertas dan pinsil yang harus dikenali dan dimiliki oleh anak-anak di masa lalu (Cooper, 2005).
Seperti yang ditekankan oleh Vygotsky, berkomunikasi merupakan sebuah proses yang sangat penting bagi seorang anak untuk menjadi anggota budayanya. Berkomunikasi bagi seorang anak juga dapat dilakukan melalui komputer. Dengan komputer anak dapat berkomunikasi dan terlibat dalam wacana sosial yang lebih luas, yang memungkinkan anak dapat lebih banyak memahami nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang ada dalam budayanya. Terlebih komputer memungkinkan seorang anak untuk dapat lebih intens dalam mengembangkan keterampilan kebahasaannya yang ada dalam ranah kognitif dan keterampilan inter-relasi dalam ranah sosial. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang berusia 3 tahun sebenarnya sudah dapat mulai belajar dengan komputer, yang berfungsi sebagai katalisator interaksi sosial (Cooper, 2005).

D. Tantangan Baru bagi Pustakawan
ICT dan perpustakaan on-line itu sudah bukan lagi menjadi hal yang luar biasa di negara maju. Di negara yang sedang berkembang ICT masih merupakan sebuah kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat perkotaan, dan hanya terbatas kepada mereka yang peduli dan memiliki dana lebih. Sebenarnya bukan ICT saja yang menjadi kelangkaan di negara berkembang; infrastruktur yang prima dan yang dianggap mendasar di negara maju seperti air bersih, listrik dan transportasi juga masih belum dinikmati dengan mencukupi dan merata. Namun, diharapkan dengan berinvestasi pada ICT, masyarakat mendapatkan kesempatan belajar yang lebih merata, sehingga mereka dapat menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya melalui membaca dan belajar sepanjang hayat.
Sebagai gambaran tentang apa yang telah terjadi di negara maju, generasi yang sedang bersekolah sekarang adalah Generasi Net atau Generasi Digital. Generasi ini sudah semakin tidak membutuhkan perpustakaan fisik, dan mereka hanya mengandalkan internet. Menurut survei di Thomas and Dorothy Leavey Library at the University of Southern California (USC), Amerika Serikat, 73 persen mahasiswa sudah tidak lagi ke perpustakaan, karena mereka sudah terhubung oleh internet dan perpustakaan on-line. Hanya tinggal 36% mahasiswa S1 meminjam buku, 12% datang ke perpustakaan untuk menggunaan jurnal cetakan, dan 61% dari pengunjung perpustakaan hanya datang untuk menggunaan komputer yang disediakan. Bila mahasiswa ditanya perbaikan apa yang mereka butuhkan dari perpustakaan, mereka hanya meminta untuk disediakan lebih banyak komputer. Selain itu, mahasiswa juga melaporkan bahwa mereka lebih suka belajar berkelompok dengan teman dan mengakses internet, daripada mendengarkan dosen berceramah di kelas. Karena itu, tidak cukup perpustakaan yang terhubung dengan internet saja, tetapi mahasiswa juga mengharapkan perpustakaan menyediakan lebih banyak ruang diskusi (Gardner & Eng, 2005).
Namun, dengan perubahan semacam ini, pustakawan selain mendapatkan kemudahan-kemudahan yang belum pernah dinikmati sebelumnya, seperti bagaimana melaksanakan katalogisasi, input dan pelacakan informasi dengan cepat, pustakawan sekolah juga mendapatkan tantangan-tantangan baru. Perpustakaan perlu pembaruan dan penataan kembali secara organisatoris. Pustakawan di perpustakaan yang on-line tentu tidak lagi akan mengharap pengguna sering datang mengunjungi perpustakaan. Pengguna perpustakaan dapat mengakses perpustakaan dari dalam ruang kelas, di rumah dan di mana saja. Dengan demikian, pustakawan perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan baru, peningkatan keterampilan baru, mekanisme komunikasi yang baru dan fleksibilitas kinerja yang berbeda (Tam & Robertson, 2002).
Tantangan lain yang dihadapi pustakawan adalah bagaimana perpustakaan dengan kegiatan-kegiataan yang dirancang oleh pustakawan hendaknya sangat menantang dan menarik, Terutama di kawasan perkotaan, anak sudah semakin biasa dengan penggunaan internet, tetapi internet hanya digunakan untuk bermain game yang kurang memiliki bobot edukatif. Anak juga saling berbagi informasi dengan melakukan chatting dan email, dan sebagainya. Namun, penggunaan alat-alat elektronik digital ini belum maksimal. Memang alat-alat itu sudah digunakan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi, tetapi menurut kenyataannya informasi-informasi itu belum secara jelas dapat masuk ke dalam informasi yang dibutuhkan siswa secara bertanggung jawab (Galenter, 2006).
Pada saat ini baru sedikit sekali pustakawan sekolah yang yang menjadi elektronik, sedangkan tuntutan jaman adalah setiap saat siswa dapat mengakses informasi yang dibutuhkannya, dan informasi itu harus dapat diaksesnya di luar ruang atau gedung perpustakaan. Pada saat ini tidak lagi kita membahas berapa banyak orang yang meminjam dan membaca satu buku dalam satu minggu, tetapi seberapa cepat, seberapa mudah, seberapa up-to-date bahan yang dapat diperoleh pengguna perpustakaan (Wang & Hwang, 2004).

E. Tuntutan Baru yang Mendasar bagi Seorang Pustakawan Sekolah dalam Dunia Perpustakaan Maya
Pustakawan sekolah memiliki tuntutan baru di era ICT ini. Penyebab utamanya adalah siswa juga menghadapi tuntutan dan tanggung jawab baru dalam belajarnya dan dalam upayanya untuk hidup di era ICT. Pustakawan sekarang tidak saja menyediakan koleksi seperti yang dikehendakinya saja, tetapi pustakawan menyediakan bahan sesuai dengan tuntutan dunia akademik, dunia kerja dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Pustakawan bukan petugas yang menata buku, tetapi seorang penyedia informasi yang bermakna dan berguna. Pustakawan tidak saja berhubungan dengan buku-buku, tetapi multimedia. Pustakawan tidak lagi mengelola koleksi, tetapi membuka akses. Pustakawan tidak lagi berwawasan lokal, tetapi berwawasan dunia. Pustakawan bukan lagi petugas yang melayani siswa yang datang untuk mencatat peminjaman dan pengembalian buku, tetapi pustakawan adalah orang yang terus membuat sistem yang memudahkan siswa dalam mencari informasi.
Pustakawan sekolah juga semakin dituntut untuk memiliki wawasan pendidikan yang luas dalam menjalankan tugasnya. Karena telah terjadi perubahan terhadap lingkungan pendidikan, lingkungan belajar, budaya, ekonomi dan teknologi, pustakawan memiliki tuntutan baru yaitu bagaimana menumbuhkan pembiasaan bagi siswa untuk menjadi pembaca dan pembelajar seumur hidup. Pembelajaran jangka panjang adalah norma yang menuntun semua perencanaan dan kegiatan yang dikerjakan oleh pustakawan. Pendidikan sudah bukan menjadi milik mereka yang mendapatkan hak istimewa, tetapi telah menjadi hak semesta dan kebutuhan untuk berhasil dalam hidup. Setiap orang perlu terus memperbaiki diri, terutama karena dunia kerja menjadi semakin kompetitif. Setiap orang juga membutuhkan wawasan yang luas dan meningkatkan multi-intelegensi. Pustakawan memiliki peran yang penting untuk membantu menjawab tantangan jaman yang menghendaki setiap siswa dapat memilih sendiri apa yang ingin dipelajarinya (Tam & Robertson, 2002). Untuk mencapai kemampuan seperti ini siswa perlu memiliki motivasi yang tinggi, inisiatif dalam belajar dan kesungguhan yang tidak ditentukan oleh seorang pengajar, tetapi ditentukan oleh kebutuhannya dalam mengembangkan diri untuk dapat berperan serta di masyarakat dan dapat terus bertahan dan memajukan diri di pasar kerja. Pustakawan memiliki peran membantu siswa untuk mengembangkan motivasi belajar yang tangguh dengan menyediakan bahan-bahan dan konsultasi yang merangsang mereka untuk berpikir, yang membuat belajar menjadi bermakna, dan benar-benar dapat membuktikan sendiri bahwa pembelajaran otonomus mereka memang dapat memberikan keberhasilan dan kebanggaan.
Pustakawan yang biasa dengan perpustakaan fisik dan tidak siap berubah akan semakin tersisihkan. Perpustakaan yang dipimpinnya tidak akan lagi mampu bersaing dengan produsen informasi yang memiliki data base yang sangat luas, yang terus diperbarui dengan sangat cepat, dan dengan informasi lengkap yang dapat dengan mudah diperoleh dari data base tersebut. Maka, dalam tuntutan yang semacam ini pustakawan perlu mendefinisikan kembali peranannya dalam dunia pendidikan (Tam & Robertson, 2002). Seorang pustakawan perlu memiliki keterampilan yang berhubungan dengan ICT sebagai berikut (Ghosh& Sevukan, 2006):
(a) kegiatan dasar yang berhubungan dengan keperpustakaan,
(b) proses dan pelacakan informasi,
(c) pelayanan informasi dan pendukungnya,
(d) pelayanan berbasis jejaring,
(e) administrasi dan koordinasi jejaring,
(f) otomatisasi perkantoran, pelatihan pengguna terakhir,
(g) evaluasi produk informasi,
(h) perencanaan teknologi informasi,
(i) pencarian on-line,
(j) perantara informasi,
(k) pengembangan dan pengorganisasian konten,
(l) pelayanan informasi berbasis web,
(m) kegiatan yang berhubungan dengan internet seperti pengembangan lembar web, dan
(n) penerbitan elektronik dan jejaring.
Seorang pustakawan sekolah juga semakin dituntut untuk memiliki wawasan pendidikan dan pembelajaran yang luas. Pustakawan perlu memahami tentang pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning). Pembelajaran semacam ini sangat mendukung pembelajaran yang memotivasi siswa untuk tanggap terhadap persoalan yang ada di masyarakat, menyelesaikan masalah dengan belajar secara mendalam, mandiri, dan otonomus. Pustakawan dapat membantu siswa untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di era informasi ini siswa akan mendapatkan banyak informasi, tetapi tidak semua informasi menjadi lengkap dengan sendirinya, dapat dipercaya atau berguna. Dengan pembiasaan belajar yang demikian pustakawan telah membangun kemampuan pada diri siswa untuk bertindak seperti seorang profesional (Galernter, 2006).
Pustakawan juga perlu mendukung pemahaman bahwa setiap individu itu berbeda menurut bakat, keterampilan dan minatnya. Namun, sekalipun setiap individu berbeda, setiap individu perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar, dan menjadi anggota masyarakat yang berguna. Karena itu, seroang pustakawan adalah orang yang perlu memiliki wawasan yang sangat luas dan dapat mencari dan menggali minat siswa dalam mengembangkan rasa ingin tahu terhadap suatu bidang ilmu, kesenian atau keterampilan yang dapat bermanfaat. Ada yang menyukai otomotif; ada juga yang menyukai seni suara, seni teater, atau bahkan matematika, yang semuanya sama menurut nilai manfaatnya (Grant & Branch, 2005).
Peran pustakawan sekolah adalah mencari informasi termasuk melakukan seleksi informasi dari internet, mengorganisasikannya dan membuatnya lebih mudah untuk diakses oleh penggunanya melalui jaringan elektronik, dan juga menyediakan bantuan ICT bagi pengguna, sedapat mungkin 24 jam dalam sehari. Pustakawan juga perlu membuat program-program pendidikan dan belajar on-line yang dapat disatukan ke dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Kolaborasi antara bagian pengembangan koleksi dengan staf pengajar akan memastikan bahwa perpustakaan memiliki koleksi yang terbaik. Pustakawan juga perlu mengupayakan supaya perpustakaan sekolah berlangganan majalah elektronik, terutama yang dapat diperoleh secara cuma-cuma. Pustakawan juga dapat membantu guru dalam menyebarkan informasi dan bahan kepustakaan yang perlu dibaca siswa, setelah pustakawan dan guru berkoordinasi dalam menyebarkan informasi tentang isi setiap mata perlajaran, SAP yang dibuat oleh guru dan buku-buku atau alamat Web yang perlu diketahui oleh siswa, dan semua karya unggulan siswa, baik dari sekolah tempatnya mengabdi maupun sekolah lain, terutama yang telah memenangkan penghargaan-penghargaan khusus (Tam & Robertson, 2002).

F. ICT bagi Pembelajaran Elektronik
ICT semakin tidak dapat dikesampingkan dalam proses pembelajaran yang menyiapkan siswa untuk hidup di jaman ICT itu sendiri. Perpustakaan sekolah yang memungkinkan siswa belajar dengan menggunakan ICT adalah perpustakaan e-learning. Pustakawan yang mengelola perpustakaan e-learning tentu tidak sekedar memindahkan teks dari bahan cetakan menjadi teks di dunia maya. Namun, seperti pendidik yang lain, pustakawan sekolah perlu menciptakan lingkungan belajar maya, interaksi online dan lingkungan belajar yang terkelola secara efisien. Dalam hal ini siswa belajar secara elektronik atau e-learning yang memungkinkan fleksibitas dalam pembelajaran dan yang memungkinkan umpan balik dapat diperoleh dengan segera. E-learning sudah banyak digunakan untuk pelatihan dan belajar jarak jauh dan kurikulum berbasis Web. Memang ada orang yang tidak menyukai pembelajaran semacam ini, karena mengurangi inteaksi kemanusiaan, dan ketidakabadian komputer. (Wang & Hwang, 2004)

G. ICT Merupakan Investasi Jangka Panjang
Pada saat ini ICT masih dinikmati oleh siswa di daerah urban, dan lebih bersifat komersial. Bahkan keberadaan ICT belum dimanfaatkan anak untuk memaksimalkan belajar mereka. Karena itu, pustakawan sekolah perlu mengambil alih pemanfaatan ICT untuk pembelajaran siswa. Pustakawan hanya dapat melakukan fungsi ini, bila tersedia cukup dana.
Indonesia sebagai negara sedang berkembang sudah waktunya memikirkan bagaimana membelanjakan uang untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara umum, dan bukan hanya memberikan bantuan-bantuan yang bersifat sementara. Perpustakaan sudah waktunya membangun konsorsium untuk pendanaan dan juga untuk pelatihan staf dalam mengatasi perubahan yang ada dalam lingkungan belajar (Tam & Robertson, 2002).
Bila ICT tidak ditangani oleh pemerintah dan memungkinkan semua warga sekolah dan masyarakat dapat menikmatinya, maka pengadaan ICT yang sebagian-sebagian itu hanya akan menciptakan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Baik jurang pemisah antara Indonesia dengan negara maju, maupun kelompok yang lebih beruntung di Indonesia dan kelompok yang kurang beruntung.

H. Kesimpulan
Perpustakaan on-line memang tidak mudah untuk diadakan di sekolah-sekolah karena keterbatasan sumber daya yang kita miliki, tetapi perpustakaan on-line sudah merupakan sebuah tuntutan yang tidak dapat kita hindari—bukan sekedar fasilitas yang penting, tetapi fasilitas yang wajib ada untuk investasi jangka panjang. Bahkan semakin terpencil letak sebuah sekolah sebenarnya sekolah itu semakin membutuhkan perpustakaan on-line.
Dengan jejaring internet yang sudah dimiliki sekarang, sebenarnya Indonesia telah memiliki modal dasar bagi perpustakaan on-line, yang memungkinkan setiap siswa—bukan siswa di daerah urban saja--memperoleh haknya dalam hal aksesibilitas, konektifitas, pendidikan dan informasi yang dapat dimengerti dan dimanfaatkan oleh siswa. Perpustakaan on-line yang diberdayakan dalam pendidikan formal, informal dan non-formal akan memperkuat keterampilan informasi siswa dalam membangun masyarakat berbasis pengetahuan.
Dengan adanya perpustakaan on-line, pustakawan sekolah perlu mendapatkan pelatihan kembali. Bilamana hal ini tidak dilakukan perpustakaan sekolah akan terkalahkan oleh produsen informasi. Seorang pustakawan sekolah tidak akan lagi mengukur keberhasilannya dengan menghitung berapa orang yang datang mengunjungi perpustakaannya, tetapi seberapa jauh aksesibilitas informasi yang dapat ditawarkan oleh perpustakaannya itu. Pustakawan perlu memahami tentang e-learning, dan dengan demikian perpustakaan yang dikelolanya adalah perpustakaan e-learning.

Sertifikasi Guru dan Dosen : Suatu Harapan atau Pelecehan

Oleh : Zamsir

Setelah disahkannya undang-undang guru dan dosen, yakni Undang-Undang No.14 Tahun 2005, profesi guru dan dosen kembali menjadi perhatian dikalangan banyak pihak, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dikalangan pemerhati pendidikan. Mengapa tidak, kehadiran undang-undang tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Sayangnya, kehadiran undang-undang ini menemui banyak kendala dalam implementasinya, bahkan rektor UGM (Sofian Effendi) pernah mengatakan bahwa undang-undang guru dan dosen hanyalah sebuah pepesan kosong kalau urgensi dan subtansinya tidak realistis diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan (gaji) guru dan dosen.


Disamping itu, adanya beberapa pasal yang belum jelas bentuk implementasinya, khususnya pasal yang mengatur kualifikasi pendidikan dan pemberian tunjangan profesi. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (untuk dosen diatur dalam Pasal 45). Sertifikat pendidik ini merupakan prasyarat untuk memperoleh tunjangan profesi dan pengakuan sebagai tenaga profesional. Kemudian dalam Pasal 16 disebutkan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dengan demikian seorang guru atau dosen yang telah memperoleh sertifikat pendidik, akan mempdapatkan penghasilan yang terdiri dari : (1) gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, (2) tunjangan fungsional, dan (3) tunjangan profesi. Disamping itu, guru dan dosen akan menerima tambahan penghasilan lain dalam bentuk tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas di daerah khusus.

Kalau dikalkulasi, penghasilan guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik memang memberikan harapan kesejahteraan yang sudah cukup. Tetapi kemudian masalahnya adalah harapan ini nampaknya masih dalam bentuk fatamorgana, karena untuk memperoleh tunjangan profesi yang diidamkan itu, harus melalui proses yang panjang. Dengan kata lain guru harus menunggu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mengapa tidak, kalau dilihat dari persyaratan yang diajukan bahwa untuk memperoleh tunjangan profesi seorang guru harus mempunyai kualifikasi pendidikan serendah-rendahnya diploma empat (D4) dan harus mengikuti pendidikan profesi agar memperoleh sertifikat pendidik. Sementara itu, data dari kepegawaian (BAKN) menunjukkan bahwa ada ratusan ribu atau lebih guru-guru kita yang masih mempunyai kualifikasi pendidikan di bawah diploma empat (SLTA, SPG, PGSLTP, D1, D2, dan D3).

Dengan demikian bisa dibayangkan kalau sekiranya harus menunggu para guru yang belum memenuhi kualifikasi itu memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk implementasi undang-undang guru dan dosen. Apalagi kalau biaya untuk penyelenggaraan peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru itu diharapkan dari dana APBN atau APBD yang jumlahnya sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut, suatu pertanyaan diajukan adalah : apakah sertifikasi guru dan dosen itu suatu harapan yang bisa diwujudkan guna mendapatkan imbalan finansial (gaji) yang layak bagi guru dan dosen ataukah sebuah bentuk pelecehan terhadap profesi guru dan dosen maupun terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ? Pertanyaan ini perlu diajukan karena paling tidak ada dua hal yang perlu dikaji berkaitan dengan pemberian tunjangan profesi.

Pertama, seorang guru atau dosen digaji berdasarkan jasanya atau sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Jadi kalau ada upaya pemerintah untuk menaikkan gaji guru dan dosen dalam bentuk pemberian tunjangan profesi, maka tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen. Sama halnya alasan yang dikemukakan oleh pemerintah ketika akan menaikkan gaji pejabat atau anggota dewan, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja pejabat atau anggota dewan serta untuk menghindari adanya praktek penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). Sehingga untuk menaikkan gaji pejabat dan anggota dewan tidak perlu ada persyaratan khusus seperti harus mempunyai sertifikat tertentu. Sekedar perbandingan, bahwa gaji seorang anggota dewan pada tingkat pusat (DPR RI) untuk satu bulan bisa dipakai untuk membayar gaji guru sebanyak 30 orang.

Oleh karena itu, adalah sangat tidak pantas apabila pemberian tunjangan profesi kepada guru dan dosen disertai persyaratan harus punya sertifikat pendidik Program sertifikasi itu lebih tepat ditujukan kepada mereka yang masih berstatus calon guru ataukah guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan yakni minimal diploma empat Hal ini didukung dalam Pasal 12 yang berbunyi : setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Pasal 12 ini sebenarnya telah mengindikasikan bahwa sertifikat pendidik itu sebaiknya diberikan kepada calon guru, bukan kepada orang yang sudah menjadi guru.

Kedua, LPTK adalah lembaga yang mendidik calon-calon tenaga guru. LPTK ini kemudian mengeluarkan dua sertifikat, yaitu Ijazah dan Akta (untuk program S1 berupa ijazah sarjana dan akta IV). Dengan demikian, kalau seorang guru atau dosen yang telah memiliki ijazah sarjana (S1) dan Akta IV apalagi dia adalah alumni dari suatu LPTK, kemudian kepadanya diharuskan lagi memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi, apakah ini bukan suatu bentuk pelecehan baik terhadap guru dan dosen ataupun terhadap LTPK itu sendiri. Sehingga, kalau hal ini tetap dilakukan berarti sertifikat pendidik itu lebih tinggi kualitasnya/nilainya daripada ijazah Akta IV. Kalau demikian halnya untuk apa ijazah akta itu dikeluarkan oleh LPTK ? Bukankah LPTK itu sebenarnya adalah suatu lembaga profesi yang tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon guru ? Bandingkan di luar negeri yang tidak mengenal LPTK (IKIP/FKIP). Apalagi kalau pendidikan profesi itu nantinya hanya diikuti oleh guru dan dosen dalam waktu singkat, misalnya paling lama satu bulan. Kemudian mereka diuji/diberikan tes dalam bentuk soal-soal pilihan ganda atau hanya mengukur aspek kognitif yang sifatnya instan (sesaat) lalu keluar keputusan bahwa kepadanya dinyatakan lulus dan diberi sertifikat pendidik. Kalau pelaksanaannya demikian, berati program sertifikasi itu lebih kental nuansa proyeknya dari pada urgensi dan subtansinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa sertifikat pendidik itu nantinya hanya bersifat legalitas guna mendapatkan tunjangan profesi bagi guru dan dosen.

Lebih lanjut dalam Pasal 10 disebutkan bahwa kompetensi yang dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Berdasarkan bunyi Pasal 10 ini memunculkan suatu pertanyaan bahwa apakah lulusan LPTK itu tidak mempunyai kompetensi pedagogik, sehingga harus diperoleh lagi lewat pendidikan profesi? Lalu pendidikan profesi yang dimaksud seperti apa modelnya, apa isi/materi pendidikannya dan ilmu macam apa yang diperoleh dari pendidikan itu?. Apakah masih pantas seorang guru besar (Profesor) misalnya, dengan kualifikasi pendidikan doktor (S3) dan sudah memiliki masa kerja 20 tahun masih harus mengikuti pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik guna mendapatkan pengakuan sebagai tenaga profesional sesuai dengan bunyi Pasal 3.

Oleh karena itu, pendidikan profesi sebaiknya ditujukan kepada lulusan non LPTK yang ingin menjadi guru atau dosen, atau kepada guru atau dosen yang bukan lulusan LPTK dan belum memiliki ijazah akta IV. Tentu langkah ini jauh lebih baik dilakukan, apabila pendidikan profesi itu memang dianggap sebagai penyempurnaan kompetensi guru dan dosen, bukan hanya ditujukan untuk memberi sertifikat pendidik kepada guru dan dosen sebagai prasyarat memperoleh tunjangan profesi. Apalagi dijadikan sebagai wahana mencari proyek baru yang beban pembiayaannya dicarikan melalui APBN atau APBD di masing-masing daerah. Adanya kegiatan para pejabat LPTK yang telah ditunjuk sebagai penyelenggara program sertifikasi untuk melalukan pertemuan (lobi) dengan pejabat PEMDA di beberapa daerah baru-baru ini, telah memunculkan anggapan bahwa rencana program sertifikasi itu lebih bersifat proyek ketimbang mempertimbangkan aspek urgensi, substansi, dan implementasinya

Dengan demikian, apabila pemerintah berkeinginan memberikan tunjangan profesi kepada guru dan dosen, maka persyaratannya bukan pada sertifikat pendidik, tetapi persyaratannya sebaiknya dalam bentuk lain, misalnya dengan memperhitungkan : (1) Kualifikasi Pendidikan, (2) Masa Kerja, dan (3) Jenjang Kepangkatan/Golongan atau Jabatan akademik. Sehingga Pasal 16 sebaiknya direvisi menjadi : Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki : (1) Kualifikasi pendidikan minimal diploma empat, (2) Masa kerja sekurang-kurangnya 5 tahun, dan (3) Memiliki kepangkatan minimal Pengatur/Golongan ruang III/c atau Guru ahli. Untuk dosen : (1) kualifikasi pendidikan minimal S2, (2) pengalaman kerja minimal 5 tahun, dan (3) memiliki kepangkatan minimal Penata/Golongan ruang III/c atau Asisten ahli.

Dengan memperhitungkan ketiga persyaratan tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan tunjangan profesi kepada guru dan dosen. Ini akan lebih realistis dan tindakan yang lebih adil daripada harus memperoleh sertifikat pendidik model baru tersebut. Apabila hal ini dilakukan berarti guru dan dosen mendapatkan tunjangan profesi atas pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan pengalaman kerja dan kualifikasi pendidikannya, dan hal itu tentu mengalami proses yang harus ditempuh oleh seorang guru atau dosen sebagai wujud nyata dari pengabdian yang dilakukannya dalam jabatan/profesinya.

Oleh karena itu, apabila pemerintah memang berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, maka implementasi undang-undang guru dan dosen sudah seharusnya segera dilaksanakan, dan tidak perlu lagi harus menunggu program sertifikasi. Sebab program tersebut kemungkinan lebih banyak biasnya (merugikan keuangan negara) daripada manfaatnya kepada guru dan dosen. Pengalaman telah menunjukkan bahwa program Tes Kompetensi bagi guru yang telah dilakukan sejak tahun 2000 hingga 2003 hasilnya tidak banyak memberikan manfaat dan informasi yang berguna, bahkan tindak lanjut dari hasil tes kompetensi itu kurang mendapat perhatian. Guru yang telah dinyatakan kompeten maupun yang belum kompeten (berdasarkan hasil tes kompetensi) semuanya sama, yaitu mereka kembali mengajar seperti biasa, dan tidak pernah ada usaha tindak lanjut yang lebih nyata diberikan kepada guru yang dinyatakan tidak lulus atau belum kompeten itu. Ini berarti bahwa program Tes Kompetensi bagi guru hanya menghabiskan uang negara yang jumlahnya miliyaran bahkan triliyunan rupiah.

Disamping itu, adalah sungguh tidak layak jika kompetensi guru dan dosen diukur lewat tes kompetensi yang sifatnya hanya mengukur kemampuan kognitif. Kompetensi guru dan dosen tidak bisa diukur hanya lewat pemberian soal-soal kemudian dijawab dan diskor lalu diambil kesimpulan kompeten atau tidak kompeten. Kompetensi guru dan dosen bersifat holistik, menyeluruh dan meliputi banyak dimensi. Mulai dari aspek kognitif (penguasaan materi pelajaran), afektif, psikomotor, kemampuan mengajar termasuk penguasaan metodologi pembelajaran dan asesmen, prestasi belajar siswa hingga out comes suatu jenjang pendidikan. Karena itu, apabila ingin mengukurnya tidak cukup hanya memberikan soal-soal pilihan ganda kemudian dijawab dan diskor lalu diperoleh kesimpulan. Tes kompetensi guru yang dilaksanakan dalam kurung waktu 2000 hingga 2003 nampaknya hanya mengukur aspek kognitif, dan tentu saja hal ini merupakan suatu kesalahan yang besar.

Sudah cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa pemberian in service training kepada guru dalam bentuk kegiatan pelatihan/penataran dalam waktu relatif singkat dan sifatnya demonstratif tidak cukup signifikan meningkatkan kinerja, kualitas maupun profesionalisme guru. Banyak guru setelah mengikuti kegiatan pelatihan/penataran kemudian kembali ke sekolah tidak bisa berbuat banyak, bahkan mereka kembali mengajar seperti biasa tanpa adanya usaha inovatif dan kreatif untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan pelatihan/penataran. Mengapa demikian, berbagai alasan klasik sering mereka kemukakan di antaranya di sekolah tidak tersedia sarana dan prasarana pendukung, biaya tidak ada, jumlah murid terlalu banyak dan sebagainya.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah (Depdiknas) merubah model-model peningkatan kualitas/kompetensi/profesionalisme bagi guru lewat penataran/pelatihan yang sifatnya demonstratif dan selalu menggunakan metode prediksi dan estimasi. Usaha peningkatan kinerja/kompetensi guru harus diarahkan kepada program yang lebih realistis, salah satunya adalah meningkatkan gaji atau kesejahteraannya. Walaupun ratusan kali seorang guru mengikuti penataran/pelatihan, kinerja guru tidak akan optimal apabila kesejahteraannya (gaji) masih sangat minim. Salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen untuk mengajar yang terbaik adalah dengan cara memberikan gaji yang layak. Kemudian setelah hal itu terpenuhi baru dilakukan tindakan pengawasan dan penegakan disiplin yang ketat, agar guru tidak lagi dijumpai berkeliaran kesana-sini pada waktu jam mengajar di sekolah dengan alasan untuk mencari tambahan penghasilan karena gaji yang diterimanya sangat minim. Demikian pula kepada para dosen, tidak perlu lagi harus hadir dimana-mana memberi kuliah di perguruan tinggi lain hanya dengan alasan menambah penghasilan.

Sebagai uraian penutup, ada beberapa hal yang disarankan: Pertama, pemerintah hendaknya segera mengimplementasikan undang-undang guru dan dosen dengan segera memberikan tunjangan profesi kepada mereka yang telah memenuhi persyaratan dengan memperhatikan : (1) Kualifikasi pendidikan, (2) Masa kerja, dan (3) Kepangkatam/Golongan atau Jabatan akademik, tidak perlu menggunakan persyaratan sertifikat pendidik. Dalam rangka itu pula, sebaiknya ditinjau kembali tentang pemberian standar gaji pokok bagi guru dan dosen. Selama ini, besarnya standar gaji pokok yang diberlakukan tidak memperhitungkan perbedaan kualifikasi pendidikan (S1,S2,S3). Besarnya gaji pokok yang diterima oleh guru atau dosen yang berpendidikan S1 sama dengan gaji pokok yang berpendidikan S2 atau S3. Perbedaannya hanya terletak pada masa kerja yang diperoleh melalui kenaikan gaji berkala. Akibatnya, banyak dosen setelah menyelesaikan pendidikan S2 apalagi S3 lebih banyak mencari pekerjaan tambahan diluar tugas pokoknya. Bahkan seringkali tugas pokoknya, yakni mengajar pada institusinya bukan lagi menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, dalam rangka implementasi undang-undang guru dan dosen sebaiknya dilengkapi standar pemberian gaji pokok dengan memperhitungkan kualifikasi pendidikan tersebut. Sehingga ada perbedaan nyata antara besarnya gaji pokok guru atau dosen yang memiliki kualifikasi pendidikan S1, S2, dan S3. Adalah sungguh tidak adil dan bijaksana kalau besarnya standar gaji pokok guru dan dosen yang berkualifikasi pendidikan S1 disamakan dengan yang berpendidikan S2 apalagi S3.

Kedua, dalam rangka untuk memenuhi persyaratan mendapatkan tunjangan profesi bagi guru yang belum memiliki kualifikasi akademik minimal diploma empat, pemerintah hendaknya segera membuat program peningkatan kualifikasi guru. Hal ini harus segera dilakukan agar guru yang belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan itu tidak asal mengikuti pendidikan pada salah satu perguruan tinggi dengan tujuan hanya sekedar memperoleh gelar diploma empat atau sarjana (S1), tanpa memperhatikan jurusan yang dipilih apakah sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. Kalau hal ini terjadi, maka peningkatan kualifikasi akademik bagi guru nantinya tidak meningkatkan kualitas/kompetensinya. Dengan kata lain hanya bersifat formalitas.

Ketiga, apabila pendidikan profesi memang sangat diperlukan, maka pendidikan profesi itu sebaiknya direncanakan dan dirancang terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya mulai dari kurikulumnya sampai pada teknis pelaksanaannya, agar pelaksanaannya tidak terkesan terburu-buru yang berakibat kehilangan urgensi dan subtansinya. Disamping itu, agar isi/materi kependidikan yang ada pada kurikulum LPTK tidak tumpang tindih dengan materi/isi kurikulum pendidikan profesi tersebut. Demikian pula program pendidikan profesi yang dimaksud, hanya ditujukan kepada lulusan non LPTK yang berminat menjadi guru atau dosen ataukah yang sudah menjadi guru atau dosen dengan latar belakang pendidikan non LPTK dan belum memiliki ijazah akta IV. Kalau hal ini dilakukan berarti biaya pelaksanaan pendidikan profesi tidak lagi dibebankan kepada pemerintah, dan pelaksanaannya juga tidak bersifat instan. Tentu saja harus ada batasan yang jelas tentang kedudukan dan fungsi serta perbedaan nyata antara sertifikat pendidik dengan ijazah akta yang dikeluarkan oleh LPTK. Dengan demikian kedepan dalam rangka penerimaan calon guru baru khususnya CPNS, seorang calon harus memiliki : (1) Ijazah sarjana (S1), (2) Sertifikat pendidik (bagi lulusan non LPTK), dan (3) Ijazah akta IV.

Keempat, pemerintah perlu meninjau kembali undang-undang guru dan dosen khususnya Pasal 2(2), Pasal 3(2), Pasal10, Pasal 16 (1), Pasal 47(1c) dan Pasal 53(1), agar isi undang-undang tersebut tidak menimbulkan masalah baru yang memberatkan bagi guru dan dosen. Tanpa adanya revisi pada pasal-pasal tersebut akan menimbulkan kesan bahwa kehadiran undang-undang tersebut hanya sebagai ajang memunculkan ide proyek baru, bukannya meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen.

Pelajaran Agama, Mengajar Atau Mendidik?

Pelajaran agama jalan terus, sedangkan kenakalan remaja, narkoba, sampai korupsi tidak berkurang. Padahal pelakunya waktu sekolah juga mendapat pelajaran agama. Pemerintah Orde Baru merumuskan beragam perbedaan dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga memberi kesan adanya wilayah-wilayah yang ‘seram’. Terutama ketika perbedaan-perbedaan yang terguras dalam akronim SARA. Di sekolah, perbedaan beragama siswa dipandang sebagai ancaman stabilitas sehingga harus dimaknai secara khusus. Kebijakan seperti ini menyebabkan masyarakat tidak bisa menerima perbedaan sebagai kenyataan hidup. Pendidikan agama di sekolah selama ini tidak berhasil meningkatkan etika dan moralitas peserta didik. Selama ini diakui atau tidak pendidikan formal (Agama) di sekolah gagal. Prinsip pendidikan agama seharusnya merupakan upaya menginternalkan nilai agama pada peserta didik, tujuannya agar peserta didik dapat memahami nilai agama dan menerapkannya. Mencapai keselamatan hidup adalah tujuan yang unik dari manusia beragama. Orientasi pendidikan agama yang terjadi masih sebatas mendapat nilai bagus dalam rapor atau ijazah. Pelajaran agama perlu diberi bentuk yang lebih tegas mendidik peserta didik untuk semakin taqwa dalam beragama.(oleh Paulus Mujiran, Media Indonesia, 8 September 2007)

Peranan Dan Fungsi Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah Dan Upaya Mengefektifkannya

Bagian terpenting dari lembaga adalah peranan. Peranan ialah jabatan. Sifat-sifat peranan saling mengisi. Peranan dan fungsi TAS/M belum sepenuhnya diberdayakan oleh S/M, pada hal peranan dan fungsi TAS/M mendukung kelancaran pembelajaran. Peranan menimbulkan harapan dan berkonflik dengan kepribadian Peranan TAS/M adalah administrator, personal, sosial, dan manajer. Fungsi ialah sekelompok tugas pekerjaan meliputi aktivitas, jenis yang sama sifat-sifatnya, pelaksanaannya atau urutan. Fungsi. TAS/M adalah memberikan pelayanan prima baik dalam makna sebenarnya dan singkatan. Singkatan pelayanan prima sudah mengandung dimensi pelayanan yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pelayanan prima. Keefektifan individual ditentukan oleh sikap, keterampilan, pengetahuan, Salah satu cara untuk mengefektifkan peran dan fungsi tenaga administrasi sekolah adalah dengan melakukan pelatihan keterampilan manajerial berbasis kompetensi. Terdapat beberapa mata pelatihan yang ditawarkan dalam pelatihan manajerial kepala tenaga administrasi sekolah. Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan sumbangan konsep pemikiran tentang peranan dan fungsi TAS/M dan upaya mengefektifkannya.
A. Pendahuluan
Manusia dalam kehidupan dan penghidupannya memiliki berbagai peranan. Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah (TAS/M) dalam kesehariannya dapat berperan sebagai administrator ketika di sekolah/madrasah (S/M), mungkin berperan sebagai kepala rumah tangga ketika di rumah, berperan sebagai anggota ketika rapat di suatu organisasi, berperan sebagai pemain dalam salah satu cabang olah raga, dan sebagainya. Peranan itu dapat saling mendukung dan dapat pula saling bertentangan.Peranan memiliki harapan-harapan (Getzel, 1958).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa administrasi di Sekolah Dasar (SD) menurut temuan para pengawas masih belum baik dan mereka mengeluhkan
hal ini. Ketika para Kepala SD ditanya para pengawas mengapa administrasi S/M mereka masih belum tertib, para kepala sekolah menjawab karena kami belum memiliki TAS/M. Secara hukum, SD Negeri tidak ada TAS, namun secara faktual, beberapa SD mengangkat sendiri TAS ada yang dibayar oleh komite sekolah dan ada pula yang tidak dibayar. Sebagian Kepala SD/MI mengeluh belum dapat memimpin sekolahnya secara optimal karena disibukkan oleh kegiatan administrasi sekolah terutama administrasi dana Biaya Operasional Sekolah (BOS). Akibatnya, mutu lulusan SD/MI sulit ditingkatkan.
Sebaliknya, peranan dan fungsi tenaga administrasi di SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK ada sudah diberdayakan dan ada yang belum diberdayakan tergantung kemauan kepala S/M-nya masing-masing. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa kepala S/M belum memfungsikan TAS/M karena berbagai faktor. Mungkin karena belum ada TAS/M-ya, mungkin faktor pelayanannya belum memuaskan, dan mungkin pula hubungan interpersonal keduanya belum baik.
Harapannya adalah kepala S/M, guru, pendidik, tenaga kependidikan, dan orang-orang di luar S/M yang berkepentingan dan peduli dengan S/M mau dan mampu memanfaatkan peranan dan fungsi TAS/M dengan sebaik-baiknya. Rekrutmen dan seleksi serta penempatan tenaga administrasi di SD/MI merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilaksanakan pemerintah dalam rangka memenuhi tuntutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat (1), butir b. Yang berbunyi, ”b. SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.” Maknanya adalah setiap SD/MI harus memiliki TAS/M. Menurut Direktorat Tenaga Kependidikan (2005), jumlah SD Negeri 135.644 buah. SD Swasta 10.223 buah. Jumlah SD seluruhnya 145.867 buah. Jika satu SD minimal membutuhkan satu tenaga administrasi SD, maka perlu diangkat 145.867 orang tenaga administrasi sekolah untuk SD. Karena alasan klasik keuangan negara masih terbatas, maka tidak mungkin mengangkat sekaligus 145.867 tenaga administrasi SD. Untuk itu, pemenuhan tenaga administrasi SD akan dilakukan secara bertahap. Data di lapangan sementara ini menunjukkan bahwa SD baru boleh memiliki seorang TAS/M jika jumlah Rombongan Belajar (RB) minimal enam buah. Jika jumlah RB lebih dari enam, SD/MI tersebut boleh memiliki seorang kepala TAS/M. Saat ini, data tersebut divalidasi dan diuji publik oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tentang berapa jumlah siswa SD/MI atau jumlah RB yang logis dan realistis baru boleh memiliki tenaga administrasi SD/MI. Setelah mereka ditempatkan di SD, masalahnya adalah, ”Bagaimanakah peranan dan fungsi mereka di SD kelak?” Untuk tenaga administrasi di SMP/MTs, SMA/MI, dan SMK/MAK juga sama yaitu, ”Bagaimanakah peranan dan fungsi tenaga administrasi SMP/MTs, SMA/MI, dan SMK/MAK? Bagaimanakah meningkatkan keefektifan peranan dan fungsi tenaga administrasi di SMP/MTs, SMA/MI, dan SMK/MAK?” Masalah-masalah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut, ”Bagaimana peranan, dan fungsi TAS/M, dan mengefektifkannya?”
Berdasarkan rumusan masalah di atas, artikel ini bertujuan untuk memberikan sumbangan konsep pemikiran tentang peranan dan fungsi TAS/M, dan upaya-upaya mengefektifkan peranan dan fungsi tersebut. Berikut ini dibahas kajian teoritis tentang konsep: (1) peranan TAS/M, (2) fungsi TAS/M, dan (3) upaya mengefektifkan peranan dan fungsi TAS/M.

B. Pembahasan
1. Konsep Peranan TAS/M
Suatu bagian penting dari lembaga ialah peranan. Peranan ialah aspek-aspek dinamis dari kedudukan dan jabatan di dalam suatu lembaga, dan ia menetapkan perilaku para pemegang peranan itu. Di sekolah, pemegang peranan itu meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik (Oteng Sutisna, 1987). Menurut Getzel (1958), peranan memiliki harapan-harapan yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan haknya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peranan sebagai TAS/M memiliki harapan antara lain ingin: tertib administrasi, eselon V.a bagi Kepala Tata Usaha SMA disamakan dengan eselon Kasubag Tata Usaha di SMK yaitu IV.b, diikutkan dalam pelatihan-pelatihan seperti halnya kepala sekolah/madrasah dan guru, ingin agar peranan dan fungsinya diberdayakan oleh kepala S/M, peranan dan fungsinya dihargai sama pentingnya dengan kepala S/M dan guru, dan kesejahteraan TAS/M sebagai haknya juga ditingkatkan. Sampai di luar S/Mpun, peranan dan fungsi TAS/M kurang dihargai oleh masyarakat.
TAS/M ingin tertib administrasi agar peranan dan fungsinya dianggap penting dan diberdayakan oleh sekolah. TAS/M ingin disamakan eselonnya karena peran dan fungsi serta beban tugas Kepala Tata Usaha di SMA relatif hampir sama dengan Kasubag Tata Usaha di SMK. Meskipun di SMK ada bengkel-bengkelnya tetapi di bengkel sudah ada kepala bengkel dan teknisi yang langsung berada di bawah pembinaan kepala sekolah. Di samping itu, SMA dan SMK sama-sama dalam lingkungan pendidikan menengah. TAS/M ingin diikutkan pelatihan seperti halnya kepala sekolah dan guru karena ingin meningkatkan kompetensinya sehingga mampu memainkan peranan dan fungsinya secara lebih profesional, ingin mendapatkan pengalaman berada di tempat lain, ingin menambah teman-teman baru, dan ingin melepaskan kejenuhan di tempat kerja. TAS/M ingin diberdayakan peran dan fungsinya karena selama ini masih ada kepala S/M yang hanya melibatkan dalam pembuatan program saja, sedangkan dalam pelaksanaannya tidak dilibatkan, mungkin untuk menghemat, kurang kompeten, hubungan interpersonal kurang baik, dan mungkin pula ketertutupan kepala S/M dalam hal keuangan. TAS/M ingin dihargai karena manusia pada hakikatnya memiliki kebutuhan ingin dihargai atau esteem need menurut Maslow (1954), sama-sama ingin mencerdaskan peserta didik, dan S/M sebagai sebuah sistem. S/M dapat ibarat sebuah tim sepak bola, maka peranan dan fungsi kepala S/M sebagai kapten, guru sebagai penyerang, gelandang tengah dan back, maka TAS/M adalah sebagai kipernya. Semuanya sama tujuannya yaitu ingin mencetak gol sebanyak-banyaknya. Jadi semua peran dan fungsi di sekolah adalah sama pentingnya.
Ilustrasi di atas mendukung pendapat Getzel (1958) yang menyatakan bahwa sifat pokok dari peranan-peranan adalah satu sama lain saling melengkapi untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif, efisien, mandiri, dan akuntabel. Misalnya, guru berperan memberi pembelajaran, siswa berperan sebagai pembelajar. Pengawas berperan sebagai pembimbing kepala sekola, kepala sekolah berperan sebagai pihak yang dibimbing. TAS/M berperan sebagai administrator; kepala S/M, guru, siswa, dan orang tua yang memanfaatkan administrasi tersebut. Semua peranan masing-masing adalah untuk mencapai tujuan sekolah.
Penghargaan terhadap pentingnya peranan dan fungsi TAS/M sampai saat ini masih kurang disadari dan kurang mendapat perhatian baik oleh warga S/Mh, warga masyarakat, ilmuwan, maupun pejabat. Tetapi, dengan adanya Direktorat Tenaga Kependidikan, niat dan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat serta citra TAS/M semakin mendapat perhatian. Terbukti dengan semakin banyaknya bimbingan teknik (pelatihan) TAS/M yang telah dilakukan Direktorat Tenaga Kependidikan di mana sebelumnya pelatihan seperti ini sangat langka dilaksanakan.
Sebenarnya, kalau kita mau jujur, dan berdialog dengan hati nurani dan menganggap sekolah sebagai suatu sistem sosial; maka peranan dan fungsi setiap orang sama pentingnya karena masing-masing saling membutuhkan. Semua yang diciptakan Tuhan pasti ada manfaatnya. Coba bayangkan, seandainya penjaga sekolah tidak masuk, pintu tidak bisa dibuka, maka proses pembelajaran di kelas akan terganggu.
Manusia ada yang menghakimi bahwa TAS/M tidak penting karena menurut Jakop Sumardjo (2007), manusia itu sombong dan menganggap dirinyalah yang paling benar. Orang lain itu tidak penting, penuh dengan kesalahan dan dirinyalah yang paling dan benar. Setiap orang mempunyai ”kepentingan” dan ”kebenaran” sendiri serta ”kepentingan” dan ”kebenaran” itulah yang dipakai untuk menghakimi orang lain. Kalau manusia ingin menghakimi orang lain, ia harus cerdas secara subjektif. Kecerdasan subjektif ini terbatas karena itu ia harus terbuka, toleran, mau mendengar ”kebenaran-kebenaran” yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkaca mata kuda yang hanya melihat satu arah dan tidak mau melihat dan mendengar arah kiri, kanan, dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini telah menghukum mati ilmuwan-ilmuwan potensial seperti Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan lainnya. Di negara kita, sebenarnya negara sangatlah dirugikan dengan dihakiminya orang-orang kompeten dan potensial di bidangnya. Mereka tidak diberdayakan secara optimal bahkan tidak dilibatkan karena penguasa lebih mementingkan kelompok dan sentimen pribadinya daripada mementingkan bangsanya. Para penguasa menghakimi mereka dengan mengatakan mereka tidak dapat bekerja sama, integritas dan komitmennya diragukan. Soal kerjasama, integritas, dan komitmen biarlah proses yang membuktikannya.
Pendapat di atas itu tampaknya berlaku bagi mereka yang menghakimi bahwa TAS?M tidak penting, tidak perlu dilatih karena pekerjaannya hanyalah mengurusi surat-menyurat. Pada hal kenyatan di lapangan, Kepala TAS memiliki staf yang harus ia kelola secara profesional dengan keterampilan managerialnya.
Bangsa kita adalah bangsa tidak mau menghargai potensi orang lain seperti yang diungkapkan Editorial (2006), ”Padahal orang pintar tidak sedikit di negeri ini.......... Tetapi kepintaran dan kehebatan mereka tidak memperoleh harga dan penghargaan yang memadai. Karena, negara dan masyarakat terbelenggu dalam struktur berpikir yang tidak menghargai apa yang dipunyai sendiri.” Keadaan ini terjadi pula dengan TAS/M. Bangsa kita tampaknya belum menghargai profesionalisme. Oleh sebab itu, pengangkatan TAS/M masih banyak dari lulusan SMA daripada SMK Jurusan Administrasi Perkantoran. Di suatu sekolah sebagai contoh, ada yang mengangkat pengurus surat menyurat dari SMK Jurusan Otomotif.
TAS/M ingin agar kesejahteraannya ditingkatkan karena merasa gaji dan penghasilannya tidak cukup. Manusia cenderung merasa tidak cukup. Sesungguhnya, cukup tidak cukup itu bukanlah terletak pada gaji dan penghasilan tetapi pada ”rasa”. Coba lihat teman Anda. Gaji dan penghasilannya jauh di bawah Anda, tetapi tidak pernah mengeluh dan tampak hidupnya sangat bahagia walaupun tidak dalam kemewahan. Jadi, untuk merubah tidak cukup menjadi cukup adalah dengan merubah rasa tidak cukup menjadi cukup dan bersyukur (Masassya, 2007). Orang yang cukup (kaya) adalah orang yang sedikit (miskin) keinginan. Sebaliknya, orang tidak cukup (miskin) adalah orang yang banyak (kaya) keinginannya.
Mengapa TAS/M ingin ditingkatkan kekayaannya?. Jawabnya menurut Taufiq Effendi, selaku Menpan (2007) menyatakan,
”Barangkali salah satu penyebabnya adalah karena bangsa ini punya alat ukur yang sangat unik. Misalnya, alat ukur untuk melihat kesuksesan seseorang dipandang dari berapa jumlah mobil yang dimilikinya, rumahnya di kawasan mana, merek bajunya apa, bahkan-mungkin-termasuk berapa jumlah isterinya. Karena alat ukur yang demikian itu, maka ketika seseorang menjalin hubungan dengan orang lain, orang lain itu disuguhkan dengan penampilan yang dilengkapi dengan aksesori mobil mengkilap, baju bermerek, dan lain sebagainya (meskipun sebenarnya semuanya hasil pinjaman bahkan utang). Celakanya, cara seperti itu justru membuat lawan hubungannya menjadi yakin dan percaya sepenuhnya.”
Peranan menurut Getzel (1958) kadang-kadang berkonflik dengan kepribadian. Sebagai contoh, peranan sebagai Kepala TAS/M sebagai manajer bertugas menilai DP3 bawahannya mempunyai kepribadian objektif dan senang membina. Menurut aturan, PNS tidak bisa naik pangkat jika nilai kesetiaan di bawah 91. Pada hal bawahannya hanya layak diberi nilai di bawah 91. Jika PNS bersangkutan diberi nilai di bawah 91 berarti pembinaan si Kepala TAS/M berarti tidak berhasil. Di samping itu, jika PNS tidak bisa naik pangkat, dikhawatirkan PNS bersangkutan semakin malas dan frustasi. Akhirnya, diberi PNS tersebut nilai 91. Akibatnya, terjadilah konflik batin antara peranan dengan kepribadian Kepala TAS/M.
Peranan TAS/M sangat erat hubungannya dengan otoritas formal yang diberikan oleh S/M. Otoritas formal tersebut berupa tugas pokok dan fungsi TAS/M. Pekerjaan tenaga administrasi menurut Terry (1958) meliputi: penyampaian keterangan secara lisan dan pembuatan surat menyurat dan laporan-laporan sebagai cara untuk meringkas banyak hal dengan cepat guna menyediakan suatu landasan fakta bagi tindakan kontrol dari pimpinan. Selanjutnya ditambahkan Terry bahwa tujuh kegiatan tenaga administrasi adalah: (1) mengetik, (2) menghitung, (3) memeriksa, (4) menyimpan, (5) menelpon, (6) menggandakan, (7) mengirim surat, dan (8) lain-lain. Sedangkan Mill dan Standingford (1982) menyebutkan delapan kegiatan tenaga administrasi yaitu: (1) menulis surat, (2) membaca, (3) menyalin (menggandakan), (4) menghitung, (5) memeriksa, (6) memilah (menggolongkan dan menyatukan), (7) menyimpan dan menyusun indeks, dan (8) melakukan komunikasi (lisan dan tertulis). Menurut The Lian Gie (2000), tenaga tata usaha memiliki tiga peranan pokok yaitu: (1) melayani pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan operatif untuk mencapai tujuan dari suatu organisasi, (2) menyediakan keterangan-keterangan bagi pucuk pimpinan organisasi itu untuk membuat keputusan atau melakukan tindakan yang tepat, dan (3) membantu kelancaran perkembangan organisasi sebagai suatu keseluruhan. Berdasarkan pendapat The Lian Gie di atas, maka peranan TAS/M sesungguhnya hanya satu yaitu sebagai administrator karena ketiga peranan yang diungkapkan di atas yaitu melayani, menyediakan, dan membantu sama dengan administrasi. Jika ditinjau dari sudut asal usul kata (etimologis), maka administrasi berasal dari Bahasa Latin, ad + ministrare. Ad berarti intensif, sedangkan ministrare berarti melayani, membantu, dan memenuhi atau menyediakan (Husaini Usman, 2006).
Selanjutnya dijelaskan oleh The Liang Gie (2000) bahwa untuk Indonesia dapatlah kini secara lengkap tata usaha dirumuskan sebagai segenap rangkaian kegiatan yang menghimpun, mencatat, mengolah, menggandakan, mengirim, dan menyimpan. Pekerjaan catat-mencatat atau tulis-menulis mendukung falsafah yang digunakan dalam Sistem Manajemen Mutu International Standart Organization 9001:2000 (SMM ISO 9001:2000) yaitu, ”Tulis yang Anda kerjakan dan kerjakan yang Anda tulis.” Jika mutu S/M Indonesia ingin diakui dunia internasional, maka S/M harus menerapkan dan memiliki sertifikat ISO 9001:2000. Pekerjaaan catat mencatat mendukung salah satu fungsi manajemen yang dikembangkan oleh Gullick & Urwick (1937) (Hoy & Miskel, 2005) dengan akronim POSDCoRB (Planning, Organizing, Staffing, Coordinating, Reporting, and Budgetting). Pekerjaan catat-mencatat mendukung salah satu karakteristik birokrasi yaitu administrasi adalah tindakan catat-mencatat seperti yang dinyatakan Weber (1947) (Wendrich, et.al.,1988). Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan TAS/M adalah sebagai administrator.
Jika TAS/M tersebut memiliki staf, maka peranannya bertambah satu yaitu sebagai pengelola (manager). Manajer menurut The Liang Gie (2000) ialah seorang yang mampu: melihat semua urusan dalam keseluruhannya, melimpahkan pekerjaannya, membangkitkan gairah kerja, memberikan insipasi, membimbing stafnya, bekerja sama, dan menerapkan teknik-teknik administrasi perkantoran. Menurut Anonim (1995), sebagai seorang administrator, ia harus memahami dan mampu mengkoordinasikan penyelenggaraan administrasi S/M sesuai pedoman pengelolaan administrasi S/M. Jadi, seorang administrator harus mampu sebagai koordinator. Di samping itu, ia juga harus mampu menciptakan pelayanan administrasi yang lancar dan tepat waktu. Peranan kepala TAS/M sebagai manajer lainnya lagi adalah sebagai planner karena ia harus membuat rencana dan program kerja ketatausahaan. Sebagai organizator karena ia harus mengorganisasikan stafnya.
Dari pengalaman lapangan diketahui bahwa staf TAS/M yang paling lengkap kebanyakan berada di SMK favorit. Di SMK tersebut, idealnya terdapat 13 orang staf administrasi sekolah dengan tugas sebagai: (1) pelaksana urusan persuratan dan pengarsipan (kesekretariatan), (2) pelaksana urusan kepegawaian (pendidik dan tenaga kependidikan), (3) pelaksana urusan keuangan (pembiayaan sekolah/madrasah), (4) pelaksana urusan kurikulum (isi) dan pembelajaran (proses), (5) pelaksana urusan kesiswaan (peserta didik), (6) pelaksana urusan sarana dan prasarana, (7) pelaksana urusan hubungan sekolah dengan masyarakat, (8) pesuruh (caraka), (10) pengemudi (pada sekolah yang sudah memiliki mobil), (11) penjaga S/M, (12) tukang kebun (pada SMK Pertanian), dan (13) tenaga kebersihan S/M. Dengan diterapkannya delapan standar pendidikan nasional di S/M, maka pelaksana urusan akan bertambah lagi yaitu: (1) pelaksana urusan kompetensi lulusan, dan (2) pelaksana urusan penilaian pendidikan. Tugas-tugas di atas tentunya dapat dirangkap tergantung kebutuhan S/M masing-masing. Dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah Republiik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, maka tenaga kebersihan, tenaga perpustakaan, dan tenaga laboran/teknisi bukan lagi menjadi staf TAS/M tetapi kedudukannya tersendiri yaitu sebagai salah satu tenaga kependidikan seperti halnya dengan TAS/M.
Peranan semua pelaksana urusan adalah sebagai administrator. Peranan pesuruh adalah sebagai pengantar surat (expeditor atau distributor) dan melayani konsumsi tamu (waiter). Peranan pengemudi adalah sebagai sopir (driver). Peranan tukang kebun adalah pemelihara kebun (caretaker atau nurseryman)
TAS/M sebagai pribadi tidak dapat melepaskan peranannya sebagai personal. Berkenaan dengan kualitas personal, Denyer (1975) menyatakan bahwa kualitas kepribadian TAS/M yang penting-penting adalah kegairahan (enthusiasm), ketulusan (sincerity), kebijaksanaan (wisdom), dan pengendalian diri (self-control). Berkaitan dengan ketulusan, Sri Pannyavaro (2007) menyatakan bahwa di antara pekerjaan luhur yang dilakukan manusia adalah melayani orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Jika seseorang membantu orang lain dengan ketulusan atau keikhlasan, maka ia akan mendapat kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang tidak tulus akan lebih banyak merasa gelisah dan khawatir, bahkan kecewa dan menyesal manakala mendapati kenyataan yang sesuai harapan. Keberadaannya selalu dibutuhkan dan ketiadaannya selalu dikenang.
TAS/M sebagai makhluk sosial tidak dapat melepaskan peranannya sebagai orang yang sosial. Berkenaan dengan keterampilan sosial, Hunsaker (2002) menyatakan,
”The ability to connect to other, build positive relationships, respond to the emotions of others, and influence others is the final component of emotional intelegence. Managers need social skills to understand interpersonal realationships, handle disagreements, resolve conflicts, and pull people together for common purpose.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peranan TAS/M adalah sebagai: administrator, personal, dan sosial. Peranan kepala TAS/M adalah sebagai: administrator, personal, sosial, dan manajer. Peranan sebagai administrator memiliki subperanan sebagai: collector, reporter, programmer, calculator, duplicator, sender, archivist, communicator, technician, expeditor, waiter, dan caretaker. Peranan sebagai manajer memiliki subperanan sebagai: planner, organizator, motivator, coordinator, delegator, problem solver, decision maker, dan evaluator.

2. Konsep Fungsi TAS/M
Fungsi ialah sekelompok tugas pekerjaan meliputi sejumlah aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat-sifatnya, pelaksanaannya atau karena merupakan suatu urutan ataupun secara praktis saling tergantung satu sama lain. Fungsi dalam suatu organisasi dibebankan kepada seseorang petugas atau satuan tertentu sebagai tugas yang harus dilaksanakan (The Liang Gie, 2000).
Terry (1958) menyebutkan bahwa tenaga administrasi sebagai pekerjaan pelayanan (service work) yang mempunyai fungsi memfasilitasi (function facilitating), untuk membantu pekerjaan-pekerjaan pokok (substantif) berjalan secara efektif dan efisien. Grager (dalam Wylie, 1958) menyatakan bahwa fungsi administrasi perkantoran adalah fungsi tata penyelenggaraan terhadap komunikasi dan pelayanan surat menyurat dari suatu organisasi. Evans (dalam Heyel, 1963) menyatakan bahwa administrasi perkantoran sebagai fungsi yang menyangkut manajemen dan pengarahan semua tahap operasi perusahaan yang mengenai pengolahan bahan keterangan, komunikasi, dan ingatan organisasi. Thomas (1975) menyatakan bahwa fungsi administrator sekolah/madrasah adalah pelayanan yang diberikan olehnya.
Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Depdiknas (2001) menyatakan bahwa fungsi TAS/M adalah: (1) Kepala Tata Usaha/Kepala Subbagian Tata Usaha bertugas membantu kepala sekolah/madrasah dalam kegiatan administrasi (urusan surat menyurat, ketatausahaan) sekolah/madrasah yang berkaiatan dengan pembelajaran, (2) Pelaksana urusan kepegawaian bertugas membantu Kepala Tata Usaha/Kepala Subbagian Tata Usaha dalam kegiatan atau kelancaran kepegawaian baik pendidik maupun tenaga kependidikan yang bertugas di sekolah/madrasah, (3) Pelaksana urusan keuangan bertugas membantu Kepala Tata Usaha/Kepala Subbagian Tata Usaha dalam mengelola keuangan sekolah/madrasah, (4) Pelaksana urusan perlengkapan/logistik bertugas membantu Kepala Tata Usaha/Kepala Subbagian Tata Usaha dalam mengelola perlengkapan/logistik sekolah/madrasah, (5) Pelaksana sekretariat dan kesiswaan bertugas membantu Kepala Tata Usaha/Kepala Subbagian Tata Usaha dalam mengelola kesekretariatan dan kesiswaan, (6) Pengemudi bertugas sebagai sopir, (7) Penjaga sekolah/madrasah bertugas memelihara dan memperbaiki fasilitas sekolah/madrasah berupa bangunan, kelistruikan, dan peralatan praktik. Joko Kuncoro (2002) menyatakan bahwa pekerjaan kantor atau tata usaha memiliki berbagai sebutan lain seperti office work, paper work, dan clerical work diperlukan oleh semua jenis aktivitas substantif agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Pada dasarnya, pekerjaan TAS/M merupakan pelayanan yang berfungsi meringankan (facilitating function) terhadap pencapaian tujuan aktivitas substantif. Setiap organisasi, apapun bentuk, jenis, corak, dan tujuannya terdiri atas dua pekerjaan yaitu aktivitas substantif dan pekerjaan kantor. Organisasi S/M mempunyai aktivitas substantif berupa pembelajaran dan pekerjaan kantor berupa administrasi S/M.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi TAS/M adalah memberikan pelayanan prima di bidang administrasi. Pelayanan prima dalam hal ini mengandung arti sebenarnya dan arti singkatan. Pelayanan prima dalam arti sebenarnya menurut Anonim (2000) ialah pelayanan yang sesuai atau melebihi standar yang ada. Pelayanan prima sesungguhnya baru ada, apabila sudah ada standar pelayanan. Pelayanan prima di sekolah/madrasah ialah pelayanan yang sesuai atau melebihi delapan standar pendidikan nasional yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Dengan adanya delapan standar tersebut berarti S/M dapat melaksanakan pelayanan prima. PELAYANAN PRIMA dalam arti singkatan adalah: Pantas (tepat janji dalam Mutu, Biaya, dan Waktunya = BMW), Empati (memahami kebutuhan konsumen); Langsung (responsif, segera dikerjakan dan tidak berbelit-belit), Akurat (tepat atau teliti, reliabel); Yakin (kredibiltas, dapat dipercaya), Aman (resiko kecil, keraguan kecil), Nyaman (menyenangkan dan memuaskan), Alat (lengkap dan modern), Nyata (penampilan sarana dan parasarana, personil), Perkataan (sopan santun, bersahabat, mudah berkomunikasi, mudah dipahami, konsisten dengan tindakan), Rahasia (kerahasiaan pelayanan terjamin), Informasi (penyuluhan jelas mudah didengar dan dipahami, objektif, valid, reliabel, komprehensif, lengkap, dan mutakhir); Mudah (kesediaan melayani, mudah dihubungi, mudah ditemui, mudah disuruh), dan Ahli (dikerjakan oleh orang yang benar-benar kompeten) (Husaini Usman,2006).
Singkatan PELAYANAN PRIMA di atas sesungguhnya sudah mengandung dimensi pelayanan prima seperti yang dinyatakan Zeithaml, et.al. (1990) dan Anonim (2000) yaitu: tangible (nyata), reliability (pantas), responsiveness (mudah, kesediaan melayani), competence (ahli), courtesy (perkataan sopan dan ramah), credibility (yakin), security (aman), access (mudah), communication (informasi), dan understanding (empati). Perbedaannya hanya terletak pada urutannya saja.

3. Konsep Mengefektifkan Peran dan Fungsi TAS/M
Menurut Gibson, et.al. (2003), efisien (daya guna) ialah proses penghematan sumber daya dengan cara melakukan pekerjaan dengan benar (do things right), sedangkan efektif (hasil guna) ialah tingkat keberhasilan pencapaian tujuan dengan cara melakukan pekerjaan yang benar (do the right things). Efektif secara kuantitatif adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh dibagi dengan target yang harus dicapai, sedangkan efektivitas secara kualitatif adalah tingkat kepuasan yang diperoleh. Keefektifan dapat dilihat dari tiga perspektif yaitu: (1) individual (input), kelompok (proses), dan (3) organisasi. Keefektifan individual ditentukan oleh sikap, keterampilan, pengetahuan, motivasi, dan stres. Keefektifan kelompok ditentukan oleh kekompakan (cohesiveness), kepemimpinan, struktur, status, peranan-peanan, dan norma-norma. Keefektifan organisasi ditentukan oleh lingkungan, teknologi, pilihan strategik, struktur, proses, dan budaya (Gibson,2003). Dalam artikel ini, mengefektifkan dibatasi pada individual. Dari pendapat Gibson di atas, upaya mengefektifkan peranan dan fungsi dapat dilakukan dengan meningkatkan sikap, keterampilan, pengetahuan, motivasi, dan stres. Caranya dapat melalui studi lanjut dan atau pelatihan.
Menurut seorang ahli manajemen perkantoran, Denyer (1975), seorang manajer perkantoran harus memiliki pendidikan dan pelatihan yang tepat maupun ciri-ciri perwatakan yang cocok dengan tugasnya, memiliki kemampuan melimpahkan pekerjaan maupun kecakapan dalam organisasi, harus mampu melihat semua urusan dalam keseluruhannya dan menghargai segi-segi teknis administrasi yang terinci. Mengenai kualitas kepribadian yang penting-penting adalah kegairahan, ketulusan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Tetapi kualitas terpenting adalah kepemimpinan yakni kemampuan membangkitkan gairah, memberikan inspirasi, dan membimbing semua pegawai. Dengan kepemimpinan, manajer perkantoran dapat menghasilkan yang terbaik dari stafnya, dapat membuat staf bekerja sama sebagai sebuah kelompok yang terpadu.
Salah satu cara untuk mengefektifkan peranan dan fungsi TAS/M adalah melaksanakan pelatihan keterampilan manajerial berbasis kompetensi dengan langkah-langkah yang dapat diringkas seperti gambar berikut ini.
Sedangkan mekanisme pelatihan di dalam kelas menggunakan model TIMS (Training In Management Skills) yang dikembangkan oleh Hunsaker (2002). Untuk menerapkan model TIMS ada sepuluh langkah yang harus dilakukan yaitu: (1) menilai diri sendiri, contohnya peserta merenungkan keterampilan mendesak apa saja yang dibutuhkan; (2) mempelajari konsep-konsep keterampilan, contohnya mengingat kembali untuk keterampilan majarial konsepnya apa saja; (3) mengecek konsep pembelajaran: kuis, contohnya pelatih mengadakan pretest; (4) mengidentifikasi perilaku-perilaku yang akan diterampilkan: daftar isian untuk peserta, contohnya sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa saja yang dibutuhkan; (5) memperagakan keterampilan dalam sebuah latihan mendemonstrasikan, contohnya pelatih memberi tugas individual untuk mengetahui tingkat keterampilan; (6) mempraktikkan keterampilan dalam latihan-latihan kelompok, contohnya pelatih memberi tugas kelompok untuk menyamakan persepsi dari hasil tugas individu masing-masing tadi kemudian diplenokan dan dikomentari kelompok lain dan pelatih serta pelatih membagikan modulnya; (7) menilai tingkat kompetensi keterampilan dalam bentuk daftar isian kesimpulan, contohnya pelatih memberi tugas individu untuk membuat kesimpulan atau ringkasan; (8) tanya jawab untuk mendukung penggunaan keterampilan, contohnya pelatih menanyakan bagaimana bentuk kesimpulan yang dibuat peserta dan diakhir dengan postest; (9) memperbanyak latihan agar semakin terampil, contohnya pelatih memberi pekerjaan rumah untuk mengulang-ulang keterampilan yang sudah dilatihkan atau meminta peserta sesering mungkin berlatih; (10) membuat perencanaan tindakan (action planning) mengembangkan keterampilan secara berkelanjutan; contohnya pelatih menugaskan peserta membuat perencanaan tindak lanjut yang akan diklaksanakannya di tempat tugas dalam waktu tertentu setelah selesai mengikut pelatihan.
Salah satu hal penting yang perlu mendapat perhatian para pelatih adalah dalam melatih janganlah banyak menugaskan peserta untuk mencatat atau mendengar (kecuali untuk latihan menulis dan mendengar) tetapi lebih banyak melakukan karena sesuai dengan namanya ”pelatihan”, maka peserta seharusnya lebih banyak berlatih sehingga peserta memahami dan terampil melaksanakannya seperti yang dinyatakan filosof Cina kuno yang terkenal, Confusius (dalam Hunsaker, 2002), ”I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand.” Tetapi, pernyataan Confiusius ini telah dibantah oleh Hunsaker (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian terhadap pembelajaran disarankan lebih akurat menggunakan prinsip, ”I understand best when I hear, see, and do.”
Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan TAS/M sebagai personal antara lain adalah: (1) mengenal diri sendiri (Who am I?), (2) pengembangan diri (termasuk memotivasi diri sendiri), (2) pengendalian diri, (3) berpikir positif, (4) bertindak asertif, (5) manajemen stres, dan (7) manajemen waktu. Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan TAS/M sebagai sosial antara lain adalah: (1) memahami manusia, (2) teknik komunikasi efektif, (3) pengelolaan konflik, dan (4) kerja tim (Hunsaker, 2002). Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan TAS/M sebagai administrator antara lain adalah aplikasi program komputer untuk: (1) administrasi persuratan dan kearsipan (kesekretariatan), (2) administrasi pendidik dan tenaga kependidikan dan standarnya, (3) administrasi keuangan (termasuk RAPBS dan perpajakan) dan standarnya, (4) administrasi isi dan standarnya, (5) administrasi proses dan standarnya, (6) administrasi kesiswaan, (7) standar kompetensi lulusan, (8) administrasi sarana dan prasarana dan standarnya, (9) administrasi kehumasan dan kerjasama, (10) administrasi standar pengelolaan (termasuk implementasi manajemen berbasis sekolah) dan standarnya, (11) administrasi standar penilaian pendidikan, dan (12) administrasi unit produksi sekolah (untuk SMK/MAK). Aplikasi program komputer untuk delapan standar pendidikan nasional dirancang sedemikan rupa sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengetahui standar yang sudah dan belum dipenuhi S/M secara cepat, akurat, tepat, dan hemat.
Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan kepala TAS/M sebagai manajer antara lain adalah: (1) perencanaan program ketatausahaan, (2) teknik berorganisasi, (3) teknik memotivasi staf, (3) teknik koordinasi, (4) teknik memimpin staf (tim), (5) teknik delegasi, (6) teknik pemecahan masalah dan pengambilan keputusan administratif, (7) manajemen mutu berbasis sekolah, dan (8) teknik menilai kinerja staf (Hunsaker, 2002). Mata pelatihan untuk mengefektifkan fungsi TAS/M adalah pelayanan prima yang meliputi: (1) konsep pelayanan prima, (2) perilaku pelayanan prima, dan (3) pengembangan kepribadian pelayanan (Anonim, 2000).

C. Kesimpulan
Peranan adalah bagian terpenting dari S/M. Peranan ialah kedudukan dan jabatan di S/M. Di S/M, ada yang berperan sebagai Kepala S/M, guru, siswa, dan tenaga kependidikan termasuk TAS/M. Semua peranan sama pentingnya dan saling mendukung untuk mencapai tujuan S/M. Peranan memiliki sejumlah harapan terutama kewajiban, tanggung jawab, dan hak. Peranan kadang-kadang berkonflik dengan kepribadian.
Peranan TAS/M adalah sebagai: administrator, personal, dan sosial. Peranan Kepala TAS/M adalah sebagai administrator, personal, dan sosial, dan manajer. Peranan sebagai administrator memiliki subperanan sebagai collector, reporter, programmer, duplicator, calculator, sender, archivist, communicator, technician, expeditor, waiter, dan caretaker. Peranan sebagai manajer memiliki subperanan sebagai: planner, organizator, motivator, coordinator, delegator, problem solver, decision maker, dan evaluator.
Fungsi ialah sekelompok tugas pekerjaan meliputi sejumlah aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat-sifatnya, pelaksanaannya atau urutan. Fungsi dalam suatu organisasi dibebankan kepada seseorang petugas atau satuan tertentu yang harus dilaksanakan. Fungsi TAS/M adalah pelayanan prima di bidang administrasi baik dalam arti sebenarnya maupun singkatan. Singkatan PELAYANAN PRIMA adalah Pantas, Empati, Langsung, Akurat, Yakin, Aman, Nyaman, Alat, Nyata, Perkataan, Rahasia, Informasi, Mudah, dan Ahli. Arti singkatan ini sekaligus sebagai karakteristik pelayanan prima.
Keefektifan individual ditentukan oleh sikap, keterampilan, pengetahuan. Salah satu cara untuk mengefektifkan peranan dan fungsi TAS/M ialah dengan mengadakan pelatihan manajerial TAS/M berbasis kompetensi dengan langkah dari analisis kebutuhan pelatihan sampai laporan pelaksanaan pelatihan.
Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan sosial adalah: (1) memahami manusia, (2) teknik komunikasi efektif, (3) pengelolaan konflik, dan (4) kerja tim. Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan administrator adalah aplikasi program komputer untuk administrasi sekolah dan delapan SPN. Mata pelatihan untuk mengefektifkan peranan manajer adalah: (1) perencanaan program ketatausahaan, (2) teknik berorganisasi, (3) teknik memotivasi staf, (3) teknik koordinasi, (4) kepemimpinan tim, (5) teknik delegasi, (6) teknik pemecahan masalah dan pengambilan keputusan administratif, (7) manajemen mutu berbasis sekolah, dan (8) teknik menilai kinerja staf. Mata pelatihan untuk mengefektifkan fungsi pelayanan prima adalah pelayanan prima.