Rabu, 18 Maret 2009

Wajah Kepala Sekolah

Oleh H. DADANG ISKANDAR
Monday, 08 October 2007
SEBAGAIMANA diketahui penggunaan "School Based Management" (Manajemen Berbasis Sekolah) oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka meminimalisasi sentralisme pendidikan mempunyai implikasi yang signifikan bagi otonomi sekolah.

Hal itu berarti sekolah diberikan keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada secara efektif. Implikasinya maka peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mengelola SDM yang ada dalam organisasi, termasuk memiliki strategi yang tepat untuk mengelola konflik.

Mc Gregor (1960) berasumsi, manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Urgensinya adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang partisipatif demokratik dan memerhatikan perkembangan profesional sebagai salah satu cara untuk memotivasi guru-guru dan para siswa.

Berlandaskan teori Maslow (1943), kepala sekolah juga disentil dengan persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Yang pasti mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri, dan kesempatan berkembang. Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras.

Strategi kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan, bukannya otoriter. Demi kelancaran semua kegiatan itu kepala sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan bagaimana seharusnya mereka menindaklanjutinya.

Namun dengan adanya MBS peran kepala sekolah mulai bergeser. Apalagi komite sekolah mulai berperan penting dalam pengelolaan sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah mempunyai dua peran utama; pertama, sebagai pemimpin institusi bagi para guru dan kedua memberikan pimpinan dalam manajemen.

Sedangkan, pembaharuan pendidikan melalui MBS dan komite sekolah yang diperkenalkan sebagai bagian dari desentralisasi memberikan kepada kepala sekolah kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan dengan lebih mantap berbagai fungsi dari kedua peran tersebut.

Manajemen terbuka menjadi transparan, akuntabel, dan melibatkan banyak pihak dalam perencanaan, keuangan, dan pengembangan program sekolah bersama dengan para guru dan masyarakat. Rencana sekolah dan RAPBS dipajangkan untuk dilihat semua pihak. Meski belum banyak kepala sekolah, memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh MBS untuk menyesuaikan kinerjanya agar memenuhi situasi baru di sekolah dan di masyarakat dan menerapkan perubahan-perubahan.

Ada dua hal urgensi mengenai kemajuan sekolah yakni pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan putra-putrinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah.

Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah adalah central lock dalam organisasi sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan, dan peserta didik; melainkan konseptor manajerial yang bertanggung jawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efisiensi kelangsungan pendidikan.

Sementara dalam manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya.

Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari yang tak bisa menjadi bisa.

Pakar manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (1997,18) melihat salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di sekolah.

Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah bergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa.

Kegiatan pokok

Tujuh kegiatan pokok yang harus diemban kepala sekolah yakni merencanakan, mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan/orientasi sasaran, mengoordinasi, memantau, serta menilai/evaluasi. Melalui kegiatan perencanaan terjawablah beberapa pertanyaan: Apa yang akan, apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya? Hal ini tentu berkaitan dengan perencanaan reguler, teknis-operasional dan perencanaan strategis (jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang). Kepala sekolah mulai menggarap bidang sasaran yang mungkin sebelumnya sudah dikaji secara bersama-sama.

Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu mengerjakannya dengan benar pula. Oleh karena itu, visi dan misi sekolah harus dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum disosialisasikan.

Hanya dengan itu, kepala sekolah dapat membuat prediksi dan merancang langkah antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu unjuk profesional yang kelihatan sepele, tetapi begitu urgen seperti kemahiran menggunakan filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan serta antropologi dan sosiologi.

Ketika kepala sekolah tidak lagi melihat rekan-rekannya sebagai sumber daya yang cukup potensial demi kemajuan sekolah, hal ini ditandai oleh berbagai kebijakan dan keputusan yang kurang partisipatif. Ada kesan seolah-olah mau kerja sendiri. Loyalitas buta dari mitra kerjanya malah dibanggakan. Kebiasaan buruk dalam memberikan stereotip yang irasional bercokol akrab pada insan sentral ini. Orang yang kritis menyiasati keadaan kerapkali dianggap musuh yang segera disingkirkan. Itu pertanda rendahnya intelektualitas dan gagal membangun suatu team work yang solid.

Barangkali napas politik Orde Baru yang telah sekian lama menggerogoti dunia pendidikan sehingga kepala sekolah begitu egois dan sentralistik. Sangat disayangkan bila masyarakat sebagai owner pendidikan membiarkan seorang tokoh sentral sekolah bertindak otoriter dan tak mampu mengelola konflik. Lebih tragis lagi, ketika sang kepala sekolah harus lari dari persoalan yang ditimbulkan akibat keputusan yang sentralistik dan bingung mencari solusi yang akomodatif.

Dalam hal kekurangberhasilan sekolah mungkin tepat dilekatkan pada kepala sekolah. Bahkan bukan sekadar melekatkan, melainkan suatu konsekuensi kiprah regulasi kepala sekolah. Ibarat nakhoda yang menjalankan sebuah kapal mengarungi samudra, kepala sekolah mengatur dan memanajemeni segala sesuatu yang ada di sekolah. Dengan demikian, yang harus bertanggung jawab atas kandasnya sebuah sekolah dan gagalnya peserta didik adalah kepala sekolah.

Kegagalan sekolah sebetulnya sudah di ambang pintu bila letak prioritas kebutuhan sekolah bukan pada kualitas intern, tetapi pada promosi dan sensasi. Kecanggihan sekolah dimegahkan pada deretan CD komputer sambil melupakan ketersediaan buku dan majalah yang merangsang kesadaran membaca peserta didik.

Kepopuleran sekolah terletak pada seberapa jumlah masyarakat yang mengetahui bahwa sekolahnya sudah terjamah oleh teknologi canggih yang menyajikan pembelajaran via media OHP/LCD projektor sambil terlena dalam kebodohan melihat efek negatif dan efektivitas dari penggunaan fasilitas itu. Seberapa banyak waktu yang dipakai untuk menggerakkan mouse komputer? Apakah cocok media ini dipakai dalam pembelajaran seperti matematika. Menulis angka-angka, rumus, dan proses kerja matematika di papan tulis itu juga merupakan suatu proses belajar. Jadi, tak perlu meremehkan fasilitas pembelajaran yang sudah dipakai bertahun-tahun lamanya.


Upaya sensasional menjadi kontraproduktif bila masyarakat dikibuli pada janji-janji yang muluk bukan pada kenyataan yang seharusnya ada. Masyarakat manakah yang membiarkan anak-anaknya kecewa akibat termakan janji? Pemerintah mana yang membiarkan generasi penerus bangsa terjebak dalam arus propaganda tanpa hasil yang real? Pemilik sekolah manakah yang membiarkan asetnya hancur berkeping-keping akibat ulah dari sang kepala sekolah yang tak tahu diri? Atau, peserta didik manakah yang berhasil digembleng karena penipuan yang terselubung?

Apabila sekolah menuai keberhasilan, kinerja kepala sekolah telah terukur. Semakin banyak orang yang menikmati kepuasan batin, yakni dihargai, diberdayakan, dan prestatif adalah tanda-tanda kemajuan bagi kepala sekolah. Nakhoda sekolah telah mendekatkan keberhasilan para penumpang pada wilayah tujuan yang ingin diraihnya. Peserta didik merasa enjoy dan betah bila berada di sekolah.

Proses pembelajarannya telah menjadikan peserta didik lebih manusiawi dan semakin menemukan diri mereka sendiri. Para guru mempunyai sense of belonging yang tinggi akan sekolah. Kualitas sekolah dirajut dan dipertahankan. Bukan tidak mungkin hal-hal itu secara tidak langsung memikat para pengembara idealis untuk memasukkan anak-anaknya pada sekolah yang bermutu.

Sumber : Dunia Guru

Tidak ada komentar: