Rabu, 18 Maret 2009

Paradigma Baru Pembiayaan Pendidikan

Oleh Fariastuti

AP Post 19 Juli 2003 memuat tulisan kolega saya Aswandi yang membahas paradigma baru pembiayaan pendidikan yang mencakup prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Aswandi juga menggarisbawahi tuntutan masyarakat yang menghendaki biaya pendidikan murah (kalau bisa gratis) yang menurut beliau merupakan cermin ketidakpahaman masyarakat akan paradigma baru pembiayaan pendidikan.

Saya setuju dengan paradigma baru pembiayaan pendidikan. Namun paradigma baru tersebut hanya akan terwujud jika ada kebijakan yang didasarkan pada pengetahuan yang cukup tentang kompleksitas lembaga pendidikan formal dan masyarakat. Penyederhanaan masalah dalam melihat lembaga pendidikan dan masyarakat dapat menyebabkan paradigma baru hanya sekedar formalitas dan menyimpang dari tujuan yang sebenarnya.

Prinsip keadilan sampai sekarang sulit terwujud antara lain karena sistem pendidikan yang memiliki banyak kelemahan. Subsidi Pemerintah ke sekolah-sekolah negeri terutama untuk SMP dan SMU di kota yang banyak penduduk, lebih dinikmati keluarga kaya daripada keluarga miskin. Hal ini terjadi karena sistem seleksi yang berdasarkan rata-rata nilai kelulusan sekolah sebelumnya. Untuk SD negeri, ketidakadilan bagi masyarakat miskin terjadi jika sistem seleksi didasarkan misalnya pada kemampuan membaca dan telah bersekolah di TK.

Tanpa mengabaikan ada anak keluarga kaya yang nilai kelulusannya rendah dan anak keluarga miskin yang nilai kelulusannya tinggi, secara umum nilai kelulusan yang tinggi terdapat pada anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Mereka inilah yang umumnya lolos seleksi sekolah-sekolah negeri "favorit". Mencari anak keluarga miskin di sekolah-sekolah tersebut bukan hal mudah. Mereka yang tidak lolos seleksi dan tidak mampu secara ekonomis terpaksa memasuki sekolah-sekolah swasta "miskin" yang kurang mendapatkan subsidi.

Paradigma keadilan dan juga efisiensi sulit terwujud karena lembaga pendidikan tidak steril dari individu pendidik yang memanfaatkan posisi lemah orangtua murid untuk mendapatkan keuntungan. Ada orangtua yang mengeluh biaya pagar yang setiap tahun diminta sekolah sementara jumlah dan mutu pagar sekolah tidak setiap tahun bertambah. Lebih celaka lagi kalau sekolah yang sama mengajukan anggaran pembuatan pagar kepada Pemerintah dan disetujui, yang berarti telah terjadi pembiayaan ganda.

BP3 yang secara formal dianggap sebagai perwakilan orangtua murid tidak selalu mampu mewakili kepentingan orangtua murid yang status sosial ekonominya bervariasi. Ada kecenderungan orangtua miskin enggan menghadiri pertemuan sekolah apakah karena minder, lebih mementingkan mencari sesuap nasi bagi keluarga atau kurang peduli (jangan lupa, ada anak keluarga miskin yang membiayai sekolah sendiri karena kemauan mereka bersekolah lebih kuat dibandingkan dengan kemauan orangtua), apalagi menjadi pengurus BP3. Kualitas keputusan yang melibatkan BP3 akhirnya tergantung pada tingkat empati pengurus BP3 terhadap orangtua miskin baik yang sudah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota karena anaknya baru dalam proses pendaftaran.

Biaya pendidikan terdiri dari banyak komponen yang perlu dilihat secara kritis. Misalnya, salah satu komponen yang membuat biaya pendaftaran murid baru tinggi adalah baju seragam termasuk baju olahraga. Dalam hal ini, baju seragam telah dilihat dengan cara pandang orang mampu yaitu baju seragam diperlukan untuk mengurangi kesenjangan baju sekolah antara anak keluarga kaya dan miskin.

Upaya "menutup" kemiskinan dengan baju seragam apalagi dengan mewajibkan pembelian baju di sekolah dapat memunculkan ketidakefisienan di samping sangat memberatkan orangtua miskin. Pemberian baju seragam bekas layak pakai akhirnya tidak banyak membantu meringankan beban orangtua miskin.

Alangkah ironisnya jika kita puas dengan "kesamaan derajat" yang artifisial dengan menyeragam.

Tidak ada komentar: