Rabu, 18 Maret 2009

KANG-GURU DI NEGERI KANGGURU

Laporan Perjalanan Monitoring dan Evaluasi Program S2 Sandwich UPI Bandung, Jawa Barat – CUT Perth, Australia

”...Professor disini mengajar dengan hati,

Mereka selalu bertanya setiap harinya tetapi bukan langsung ke kuliah, tetapi kabar kami hari ini,

Kami akan selalu dipastikan mengerti huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat

Hingga menghasilkan paradigma baru...

Sungguh, kami mungkin tidak akan mendapatkan suasana yang akrab di tanah air kami...”

Tahun 2008 ini, Direktorat Tenaga Kependidikan menelurkan sebuah program peningkatan kualifikasi yang bertujuan menghasilkan tenaga kependidikan berkualitas internasional. Program yang diberi nama Sandwich ini melibatkan 3 universitas kependidikan ternama dalam negeri dan 5 universitas ternama luar negeri. Masing-masing universitas akan berpartner dengan universitas luar negeri. Jadi, sesuai dengan namanya, program ini menggabungkan kompetensi keilmuan school leaderhsip dan quality assurance dari universitas dalam dan luar negeri.

Universitas dalam negeri yang berpartisipasi dalam program sandwich ini adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang berpartner dengan Curtin University of Technology (CUT) Perth, Australia dan Universitan Pendidikan Sultan Idris, Malaysia. Selain itu, Universitas Negeri Malang (UM), Jawa Timur berpartner dengan Universitas Malaysia (UM) Malaysia dan National Institute of Education (NIE), Singapura. Terakhir, Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat berpartner dengan Ohio State University, USA dan London University, Inggris.

Program sandwich ini diselenggarakan 3 semester di dalam negeri dan 1 semester di luar negeri. Seluruh dana pendidikan, biaya hidup dan tiket ditanggung oleh Departemen Pendidikan Nasional atas kerjasama 3 unit utama, yaitu : (1) Direktorat Tenaga Kependidikan, Ditjen PMPTK; (2) Direktorat Ketenagaan, Ditjen Dikti; dan (3) Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Setjen Depdiknas.

Awal Nopember 2008 lalu, pengelola program Sandwich dari Direktorat dan UPI Bandung mengunjungi 15 mahasiswa sandwich di Curtin University of Technology (CUT) di Perth, Australia. Ke-15 mahasiswa tersebut adalah tenaga-tenaga pendidik dan kependidikan yang telah hampir 3 bulan menempa kompetensi di negeri kangguru.

Curtin University of Technology merupakan salah satu universitas terkemuka di Barat Australia. Walaupun memiliki kata “technology” namun tidak melulu dengan ilmu-ilmu keteknikan seperti halnya Institut Teknologi Bandung (ITB). CUT memilki departemen yang menaungi art dan teater, photogrpy dan disain, Faculty of Humanities, dan masih banyak lagi. Untuk 15 mahasiswa yang di Curtin, mereka menggali ilmu di Science and Mathematics Education Centre. Tepatnya dibawah Divison of Science and Engineering.

Kedatangan pertama kami di Curtin diterima oleh Walter Ong, Dean of International Student Admissions. Pria berdarah china ini ternyata fasih berbahasa Indonesia karena pernah tinggal lama di Indonesia. Beliau banyak menangani kerjasama-kerjasama luar negeri untuk program internasional mahasiswa-mahasiswa dari negara lain. Banyak mahasiswa-mahasiswa Asia yang menimba ilmu di Curtin. Indonesia sendiri menjadi negara urutan ketiga yang mahasiswanya belajar di Curtin setelah Singapura dan Malaysia.

Walter mengatakan bahwa Curtin sangat menekankan research untuk seluruh mahasiswa-mahasiswanya. Beliau juga menekankan bahwa untuk bisa menimba ilmu di Curtin harus bisa mencapai skore IELTS sebesar 7. Atau, jika dikonversikan ke TOEFL sebesar 600. Jika tidak dapat meraih skore tersebut, maka mahasiswa akan sulit mengikuti perkuliahan.

Pertemuan kedua kami adalah dengar pendapat dan kemajuan dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia program sandwich. Tampak letih memang di wajah-wajah mereka, namun rasanya mereka bahagia. Senyum mereka mengembang, mereka berlari dan sibuk memanggil kawan-kawannya yang lain yang tidak mengetahui kedatangan kami. Semua menyalami dan bertanya “apa kabar!” atau “bagaimana perjalanannya?”. Kami pun senang mengetahui bahwa mereka ternyata baik-baik saja. Layaknya sahabat yang lama tak bersua, masing-masing ingin bercerita tentang pengalamannya di negeri kangguru.

Kedatangan peserta program S2 sandwich dan rombongan monitoring dan evaluasi banyak difasilitasi oleh Professor Bill Atweh. Beliau memang sangat peduli dengan keadaan mahasiswa program sandwich. Pria berdarah Lebanon ini, selalu memantau perkembangan kemajuan mahasiswa peserta program S2 Sandwich. Hal ini diamini oleh seluruh mahasiswa Indonesia. Sering beliau mengundang makan mahasiswa –mahasiswa Indonesia ke rumahnya.

Dihadapan kami, mahasiswa-mahasiswa peserta S2 sandwich bercerita mulai dari kedatangan mereka yang serba dalam kondisi yang mengejutkan. Bagaimana tidak, ini adalah pengalaman pertama mereka belajar di negeri orang. Mereka tidak tahu berapa pastinya biaya hidup. Mereka belum memiliki tempat untuk bernaung. Hari-hari pertama kedatangan, mereka dipaksa untuk menginap di hotel yang harganya diluar perkiraan mereka. Dengan terpaksa mereka meminta tolong ke Konsulat Jenderal di Perth. Beruntung, konsulat jenderal membantu mereka membiaya penginapan mereka selama belum menemukan tempat berteduh tetap.

Cerita menarik lagi, rumah yang mereka sewa ditempati oleh ke-15 mahasiswa. Alasan hemat yang mereka kedepankan karena untuk dapat menyewa satu rumah dua orang sangat mahal sekali. Namun akibat aksi nekat ini, mereka didatangi consul, atau semacam petugas pemerintah daerah. Dengan dibantu sang empu rumah, mereka harus kucing-kucingan dengan petugas consul. Akhirnya mereka selamat.

Untuk makan mereka harus memasak sendiri. Setiap hari libur mereka menugaskan 2 – 3 orang dari mereka untuk membeli sayur-sayuran dan kebutuhan dapur yang jaraknya jauh sekali. Butuh 2 jam untuk sampai ke pasar tersebut.

Ketika menuntut ilmu juga demikian. Mereka tidak mampu untuk mengcopy buku. Satu lembar halaman yang dicopy berharga Rp. 5.000,-. Akhirnya, mereka lebih memilih baca langsung di komputer. Tugas-tugas kuliah banyak dikirim lewat email. Karena berlangganan internet juga mahal, maka mereka lari ke kampurs yang memberikan fasilitas gratis. Alhasil, tiap hari mereka selalu hadir di kampus walaupun hari libur.

Putus asa? Tidak!. Mereka senang. Keadaan demikian memberikan pengalaman yang berharga bagi mereka dan kekompakkan. Ya, mereka bilang mereka senang. Sungguh mereka tidak mendapatkan ini jika mereka pulang. Profesor dan dosen yang membimbing mereka pun demikian. Mereka akan memastikan bahwa anak didik mereka mengerti huruf per huruf, kata per kata, dan kalimat per kalimat. Professor Bill Atweh, Professor Barry Fraser sebagai Head of Centre, and Professor David Treagust sebagai Director of Doctoral Programs selalu menanyakan kabar mereka sebelum mereka memulai pelajaran mereka.

Mereka katakana: “no borders among us”. Semua disini saling menghargai. Kami tidak merasa adanya hubungan struktural ketika mereka belajar. Dan itu menjadi paradigma baru bagi mereka yang akan mereka bawa hingga di Jakarta. (abdul ghafur)

Tidak ada komentar: