Rabu, 18 Maret 2009

Pentingnya Perpustakaan On-Line dan Perubahan Dimensi Pustakawan Sekolah di Era ICT

Sudah saatnya bagi siswa di era informasi ini untuk menjadi e-citizen yang memiliki keterampilan informasi yang tinggi. Sejak usia muda siswa sudah perlu dibiasakan dengan e-library dan e-learning. Hal ini hanya dapat terjadi bila perpustakaan itu berubah dan diberdayakan. Dengan jejaring yang ada di Indonesia sekarang, perpustakaan on-line sebenarnya sudah dapat diupayakan. Seorang pustakawan sekolah yang on-line memiliki tanggung jawab baru; salah satunya adalah aksesibilitas, yang dapat memfasilitasi siswa untuk belajar dengan lebih bermakna dan belajar untuk menyelesaikan persoalan hidup yang sebenarnya. Bukan hanya siswa di daerah urban saja yang membutuhkan perpustakaan online. Sebenarnya, semakin terpencil mukim seorang siswa semakin dia membutuhkan perpustakaan on-line. Dengan demikian dapat terwujud keadilan sosial bagi setiap warga negara.
A. Pendahuluan
Makalah ini ditulis karena ada permasalahan mendasar yang dihadapi perpustakaan sekolah di era informasi. Di era informasi ini perpustakaan sekolah di Indonesia pada umumnya masih belum cukup memadai, tetapi kita telah dihadapkan kepada perlunya perpustakaan on-line. Perpustakaan sekolah perlu beralih dari perpustakaan tradisional menjadi perpustakaan modern yang lebih sering disebut dengan pusat sumber belajar atau Learning Resource Center, atau Electronic Resource Center. Bila dalam penyediaan perpustakaan sekolah tradisional, kita telah dihadapkan pada permasalahan bagaimana menyediakan dana untuk mendapatkan koleksi bermutu yang mencukupi, dan setiap saat supaya dapat dilakukan penyiangan dan perbaruan koleksi, dengan perpustakaan on-line kita tentu dituntut untuk menyediakan biaya yang lebih besar. Terlebih lagi, metode dan teknik baru terus bermunculan dengan kecepatan yang semakin tinggi. Dalam kondisi yang seperti ini, kita membutuhkan jaringan internet ICT, bandwidth yang bagus, jumlah komputer yang cepat dalam jumlah yang mencukupi, dana yang cukup untuk dapat
mengakses data base, dan juga SDM yang mencukupi untuk pemeliharaan peralatan yang canggih tersebut. Tentunya kita juga perlu melatih kembali para pustakawan sekolah, dan membangun sistem pendidikan yang memberdayakan perpustakaan, dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan. Di tempat-tempat terpencil yang mengalami kesulitan sambungan listrik, perlu juga disediakan sistem tenaga sinar matahari dan generator. Bus dapat juga disediakan untuk pelayanan perpustakaan dengan ICT, seperti yang dilakukan di Sarawak, Malaysia (Bolhassan & Razali, 2007). Hanya dengan demikian, kita dapat mempersatukan semua anak sekolah di antara 230 juta penduduk Indonesia yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dalam jejaring internet.
Memang pemanfaatan ICT perlu dimasyarakatkan bilamana perbedaan antara yang kaya dan miskin ingin semakin diciutkan. Akses kepada internet tidak dapat dihindari bila pemerataan mutu pendidikan ingin diupayakan. Sebenarnya semakin terpencil suatu wilayah, semakin wilayah tersebut membutuhkan internet. Pada saat ini jaringan ICT untuk pendidikan di Indonesia telah memiliki pilihan keterhubungan dengan:
(a) Internet Dikmenjur & BKLN dengan nama Jejaring Diknas, yang terhubungkan dengan Internet Indonesia dan Internet Internasional, tetapi memiliki bandwidth yang relatif terbatas
(b) Internet Dikti dengan nama INHERENT, yang memiliki bandwidth cukup lebar tetapi hanya memiliki cakupan koneksi antar perguruan tinggi di Indonesia saja
(c) Internet Indonesia (IIX)
(d) Internet Internasional
Jadi, sekalipun Indonesia memiliki tantangan yang besar dalam pengadaan on-line library, modal awal berupa fasilitas jaringan internet sudah termiliki, sehingga sebenarnya kita sudah dapat mulai memasyarakatkan on-line library bagi pendidikan di seluruh tanah air. Halangan pertama yang kita hadapi adalah ketika kita mulai meragukan pengadaan dananya. Seharusnya keterbatasan dana tidak dianggap sebagai beban, tetapi digunakan sebagai sebuah awal ketahanan dan kekreatifan dalam pengadaan akses dan kesempatan bagi setiap warga negara untuk diberdayakan oleh teknologi tersebut. Halangan untuk memperoleh akses dalam penggunaan teknologi ini sebenarnya masih dapat diatasi bilamana pemerintah lokal, pusat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan pengusaha secara bersama-sama bekerja untuk mewujudkan harapan ini. Tanpa upaya semacam ini tidaklah mungkin e-learning terjadi.
Selain itu, di era informasi yang terkoneksi ini, komputer yang tak terhubungkan dengan internet adalah komputer yang memiliki fungsi sangat terbatas. Internet dan konektivitas adalah sarana yang memungkinkan setiap warga negara menurut keadilan sosial memperoleh informasi dan pendidikan, termasuk pendidikan sepanjang hayat, untuk perolehan kehidupan yang lebih baik.
Kata kunci yang penting untuk pemberdayaan warga negara melalui jejaring ICT bagi perpustakaan adalah aksesibilitas, konektifitas, pendidikan, dan materi. Yang dimaksud dengan aksesibilitas itu adalah keterjangkauan untuk memiliki atau menggunakan komputer, dan mendapatkan konten yang relevan. Yang dimaksud dengan konektivitas adalah keterhubungan komputer dengan internet. Komputer adalah alat untuk memasuki dunia informasi dan sumber daya global. Dengan komputer yang terhubungkan dengan internet, pendidikan dapat semakin berfungsi dalam membangun tenaga kerja yang terampil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik secara individual maupun sosial. Pendidikan berteknologi tinggi semakin dibutuhkan pada jaman yang keterampilan membaca, menulis dan berhitung saja ternyata tak cukup untuk menjadi warga negara yang produktif. Yang dimaksud dengan materi adalah bagaimana internet itu memberikan informasi dalam bahasa yang dikenal oleh pengguna, memperhatikan hukum dan budaya yang ada pada masyarakat pengguna, informasi yang relevan, sumber daya dan pelayanan yang tersedia. Yang dimaksud dengan kekuatan untuk mentransformasi adalah kemampuan dari teknologi untuk memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomis. Kemampuan untuk mentransformasi ini tidak dapat muncul begitu saja dari pemerintah, mitra industri, dan LSM secara terpisah-pisah, tetapi perlu ada kerjasama dari ketiganya untuk menciptakan kesempatan bagi masyarakat dalam mengubah kehidupannya (Davies, 2007).
Sebenarnya Indonesia boleh dikata masih agak lambat dalam merespon kebutuhan akan ICT. Afrika, misalnya, telah dipersatukan oleh ITOCA (Information Training and Outreach Centre for Africa) yang menyediakan perpustakaan online dengan biaya rendah (Lwoga et al., 2007). Selain itu, setiap negara juga telah membangun perpustakaan on-line dan sekaligus e-learning, seperti Afrika Selatan dengan Electronic Resource Centres-nya (Agyei, 2007). Terlebih lagi Singapura, sebagai salah satu negara yang terkaya di Asia, masyarakat Singapura tidak saja dibangun menjadi masyarakat yang selalu mencari informasi, tetapi mencari informasi dalam lingkungan masyarakat berbasis pengetahuan atau knowledge-based society. Hanya dengan demikian, mereka dapat mengidentifikasi, mengelola, dan menggunakan informasi secara bermakna, baik dari bahan cetak maupun dari bahan elektronik; bahkan mereka telah menyebut diri mereka sebagai e-citizens. Artinya, suatu masyarakat yang hidup, bekerja dan bermain secara on-line. Hampir tak mungkin seorang anak tidak belajar secara on-line, kelompok masyarakat yang senior pun dilatih kembali untuk menggunakan teknologi informasi (Munoo & Narayanan, 2005).

B. Perpustakaan Menjadi Semakin Penting dalam Proses Pembelajaran Masa Kini
Pada masa lalu pembelajaran lebih bersifat menghafalkan bahan-bahan yang sudah ditentukan sebelumnya. Pembelajaran tidak terlalu mengedepankan rasa ingin tahu, inisiatif dan kemampuan kritis siswa. Siswa juga mendapatkan ijazahnya dari ruang kelas fisik dengan terlebih dahulu bertatap muka secara teratur dengan guru. Dalam konteks belajar seperti ini perpustakaan selalu diakui penting, tetapi tidak wajib. Pembelajaran semacam ini semakin ditinggalkan pada era informasi yang ilmu dan teknologi telah berkembang dengan sangat cepat.
Belajar di jaman sekarang adalah untuk membangun makna, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan. Belajar itu sedapat mungkin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup yang sebenarnya, kegiatan untuk berpikir, berkomunikasi dan belajar yang dibangun di atas pengetahuan dan pengalaman siswa sebelumnya. Dalam konteks yang seperti ini, perpustakaan yang dibutuhkan adalah perpustakaan yang memungkinkan siswa mengakses informasi secara elektronik, dan pustakawan adalah tenaga kependidikan yang dapat menawarkan bimbingan dan bantuan belajar yang dapat terus merangsang pengguna perpustakaan untuk terus mencari informasi yang bermanfaat (Wang & Hwang, 2004)
Pada dasarnya siswa perlu memiliki keberwacanaan informasi (information literacy) atau keterampilan informasi (information skill), yang meliputi:
(a) mengenal kebutuhan akan informasi,
(b) mengetahui bagaimana secara tepat mengidentifikasi dan mendefinisikan informasi yang dibutuhkannya,
(c) mengetahui di mana mendapatkan informasi secara efisien,
(d) menyatukan informasi yang diperoleh ke dalam kesatuan pengetahuan yang dimiliki, dan
(e) menggunakan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
Selain keterampilan dasar di atas, keberwacanaan informasi di Amerika juga menghendaki siswa untuk mengetahui bagaimana menggunakan informasi secara etis dan legal. Di Australia, siswa juga harus tahu bagaimana menggunakan informasi untuk belajar sepanjang hayatnya dan bagaimana untuk menjadi warga negara yang berguna. Di Inggris siswa juga diharapkan untuk dapat menggunakan informasi yang ada untuk menciptakan informasi baru.
Pada masa sekarang karateristik masyarakat semakin kompleks. Masalah yang ada di masyakarat juga semakin rumit. Untuk memahami karateristik masyarakat. kita semakin pula membutuhkan sarana yang semakin mutidisipliner. Belajar juga tidak lagi terbatas di bangku sekolah. Belajar sepanjang hayat semakin dihayati sebagai unsur yang penting dalam mengembangkan profesionalisme, kemungkinan untuk dapat terus mempertahankan pekerjaan, dan menjadi warga negara yang dapat membantu meminimalisasi perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Belajar sepanjang hayat menyatukan pendidikan informal, formal dan non-formal (Ghosh & Sevukan, 2006).

C. Kapan Pustakawan Sekolah Mulai Memperkenalkan Siswa kepada Internet?
Pustakawan tidak perlu ragu mengubah perpustakaan fisik menjadi perpustakaan on-line pada jenjang pendidikan yang manapun. Hampir tidak mungkin kita dapat membantu anak untuk menjadi pencari informasi bila anak tidak pernah diperkenalkan kepada Teknologi Digital (TD) yang semakin menguasai dunia komunikasi, hiburan dan ungkapan kreatif. TD bagi anak di era informasi ini tidak ubahnya seperti kertas dan pinsil yang harus dikenali dan dimiliki oleh anak-anak di masa lalu (Cooper, 2005).
Seperti yang ditekankan oleh Vygotsky, berkomunikasi merupakan sebuah proses yang sangat penting bagi seorang anak untuk menjadi anggota budayanya. Berkomunikasi bagi seorang anak juga dapat dilakukan melalui komputer. Dengan komputer anak dapat berkomunikasi dan terlibat dalam wacana sosial yang lebih luas, yang memungkinkan anak dapat lebih banyak memahami nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang ada dalam budayanya. Terlebih komputer memungkinkan seorang anak untuk dapat lebih intens dalam mengembangkan keterampilan kebahasaannya yang ada dalam ranah kognitif dan keterampilan inter-relasi dalam ranah sosial. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang berusia 3 tahun sebenarnya sudah dapat mulai belajar dengan komputer, yang berfungsi sebagai katalisator interaksi sosial (Cooper, 2005).

D. Tantangan Baru bagi Pustakawan
ICT dan perpustakaan on-line itu sudah bukan lagi menjadi hal yang luar biasa di negara maju. Di negara yang sedang berkembang ICT masih merupakan sebuah kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat perkotaan, dan hanya terbatas kepada mereka yang peduli dan memiliki dana lebih. Sebenarnya bukan ICT saja yang menjadi kelangkaan di negara berkembang; infrastruktur yang prima dan yang dianggap mendasar di negara maju seperti air bersih, listrik dan transportasi juga masih belum dinikmati dengan mencukupi dan merata. Namun, diharapkan dengan berinvestasi pada ICT, masyarakat mendapatkan kesempatan belajar yang lebih merata, sehingga mereka dapat menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya melalui membaca dan belajar sepanjang hayat.
Sebagai gambaran tentang apa yang telah terjadi di negara maju, generasi yang sedang bersekolah sekarang adalah Generasi Net atau Generasi Digital. Generasi ini sudah semakin tidak membutuhkan perpustakaan fisik, dan mereka hanya mengandalkan internet. Menurut survei di Thomas and Dorothy Leavey Library at the University of Southern California (USC), Amerika Serikat, 73 persen mahasiswa sudah tidak lagi ke perpustakaan, karena mereka sudah terhubung oleh internet dan perpustakaan on-line. Hanya tinggal 36% mahasiswa S1 meminjam buku, 12% datang ke perpustakaan untuk menggunaan jurnal cetakan, dan 61% dari pengunjung perpustakaan hanya datang untuk menggunaan komputer yang disediakan. Bila mahasiswa ditanya perbaikan apa yang mereka butuhkan dari perpustakaan, mereka hanya meminta untuk disediakan lebih banyak komputer. Selain itu, mahasiswa juga melaporkan bahwa mereka lebih suka belajar berkelompok dengan teman dan mengakses internet, daripada mendengarkan dosen berceramah di kelas. Karena itu, tidak cukup perpustakaan yang terhubung dengan internet saja, tetapi mahasiswa juga mengharapkan perpustakaan menyediakan lebih banyak ruang diskusi (Gardner & Eng, 2005).
Namun, dengan perubahan semacam ini, pustakawan selain mendapatkan kemudahan-kemudahan yang belum pernah dinikmati sebelumnya, seperti bagaimana melaksanakan katalogisasi, input dan pelacakan informasi dengan cepat, pustakawan sekolah juga mendapatkan tantangan-tantangan baru. Perpustakaan perlu pembaruan dan penataan kembali secara organisatoris. Pustakawan di perpustakaan yang on-line tentu tidak lagi akan mengharap pengguna sering datang mengunjungi perpustakaan. Pengguna perpustakaan dapat mengakses perpustakaan dari dalam ruang kelas, di rumah dan di mana saja. Dengan demikian, pustakawan perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan baru, peningkatan keterampilan baru, mekanisme komunikasi yang baru dan fleksibilitas kinerja yang berbeda (Tam & Robertson, 2002).
Tantangan lain yang dihadapi pustakawan adalah bagaimana perpustakaan dengan kegiatan-kegiataan yang dirancang oleh pustakawan hendaknya sangat menantang dan menarik, Terutama di kawasan perkotaan, anak sudah semakin biasa dengan penggunaan internet, tetapi internet hanya digunakan untuk bermain game yang kurang memiliki bobot edukatif. Anak juga saling berbagi informasi dengan melakukan chatting dan email, dan sebagainya. Namun, penggunaan alat-alat elektronik digital ini belum maksimal. Memang alat-alat itu sudah digunakan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi, tetapi menurut kenyataannya informasi-informasi itu belum secara jelas dapat masuk ke dalam informasi yang dibutuhkan siswa secara bertanggung jawab (Galenter, 2006).
Pada saat ini baru sedikit sekali pustakawan sekolah yang yang menjadi elektronik, sedangkan tuntutan jaman adalah setiap saat siswa dapat mengakses informasi yang dibutuhkannya, dan informasi itu harus dapat diaksesnya di luar ruang atau gedung perpustakaan. Pada saat ini tidak lagi kita membahas berapa banyak orang yang meminjam dan membaca satu buku dalam satu minggu, tetapi seberapa cepat, seberapa mudah, seberapa up-to-date bahan yang dapat diperoleh pengguna perpustakaan (Wang & Hwang, 2004).

E. Tuntutan Baru yang Mendasar bagi Seorang Pustakawan Sekolah dalam Dunia Perpustakaan Maya
Pustakawan sekolah memiliki tuntutan baru di era ICT ini. Penyebab utamanya adalah siswa juga menghadapi tuntutan dan tanggung jawab baru dalam belajarnya dan dalam upayanya untuk hidup di era ICT. Pustakawan sekarang tidak saja menyediakan koleksi seperti yang dikehendakinya saja, tetapi pustakawan menyediakan bahan sesuai dengan tuntutan dunia akademik, dunia kerja dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Pustakawan bukan petugas yang menata buku, tetapi seorang penyedia informasi yang bermakna dan berguna. Pustakawan tidak saja berhubungan dengan buku-buku, tetapi multimedia. Pustakawan tidak lagi mengelola koleksi, tetapi membuka akses. Pustakawan tidak lagi berwawasan lokal, tetapi berwawasan dunia. Pustakawan bukan lagi petugas yang melayani siswa yang datang untuk mencatat peminjaman dan pengembalian buku, tetapi pustakawan adalah orang yang terus membuat sistem yang memudahkan siswa dalam mencari informasi.
Pustakawan sekolah juga semakin dituntut untuk memiliki wawasan pendidikan yang luas dalam menjalankan tugasnya. Karena telah terjadi perubahan terhadap lingkungan pendidikan, lingkungan belajar, budaya, ekonomi dan teknologi, pustakawan memiliki tuntutan baru yaitu bagaimana menumbuhkan pembiasaan bagi siswa untuk menjadi pembaca dan pembelajar seumur hidup. Pembelajaran jangka panjang adalah norma yang menuntun semua perencanaan dan kegiatan yang dikerjakan oleh pustakawan. Pendidikan sudah bukan menjadi milik mereka yang mendapatkan hak istimewa, tetapi telah menjadi hak semesta dan kebutuhan untuk berhasil dalam hidup. Setiap orang perlu terus memperbaiki diri, terutama karena dunia kerja menjadi semakin kompetitif. Setiap orang juga membutuhkan wawasan yang luas dan meningkatkan multi-intelegensi. Pustakawan memiliki peran yang penting untuk membantu menjawab tantangan jaman yang menghendaki setiap siswa dapat memilih sendiri apa yang ingin dipelajarinya (Tam & Robertson, 2002). Untuk mencapai kemampuan seperti ini siswa perlu memiliki motivasi yang tinggi, inisiatif dalam belajar dan kesungguhan yang tidak ditentukan oleh seorang pengajar, tetapi ditentukan oleh kebutuhannya dalam mengembangkan diri untuk dapat berperan serta di masyarakat dan dapat terus bertahan dan memajukan diri di pasar kerja. Pustakawan memiliki peran membantu siswa untuk mengembangkan motivasi belajar yang tangguh dengan menyediakan bahan-bahan dan konsultasi yang merangsang mereka untuk berpikir, yang membuat belajar menjadi bermakna, dan benar-benar dapat membuktikan sendiri bahwa pembelajaran otonomus mereka memang dapat memberikan keberhasilan dan kebanggaan.
Pustakawan yang biasa dengan perpustakaan fisik dan tidak siap berubah akan semakin tersisihkan. Perpustakaan yang dipimpinnya tidak akan lagi mampu bersaing dengan produsen informasi yang memiliki data base yang sangat luas, yang terus diperbarui dengan sangat cepat, dan dengan informasi lengkap yang dapat dengan mudah diperoleh dari data base tersebut. Maka, dalam tuntutan yang semacam ini pustakawan perlu mendefinisikan kembali peranannya dalam dunia pendidikan (Tam & Robertson, 2002). Seorang pustakawan perlu memiliki keterampilan yang berhubungan dengan ICT sebagai berikut (Ghosh& Sevukan, 2006):
(a) kegiatan dasar yang berhubungan dengan keperpustakaan,
(b) proses dan pelacakan informasi,
(c) pelayanan informasi dan pendukungnya,
(d) pelayanan berbasis jejaring,
(e) administrasi dan koordinasi jejaring,
(f) otomatisasi perkantoran, pelatihan pengguna terakhir,
(g) evaluasi produk informasi,
(h) perencanaan teknologi informasi,
(i) pencarian on-line,
(j) perantara informasi,
(k) pengembangan dan pengorganisasian konten,
(l) pelayanan informasi berbasis web,
(m) kegiatan yang berhubungan dengan internet seperti pengembangan lembar web, dan
(n) penerbitan elektronik dan jejaring.
Seorang pustakawan sekolah juga semakin dituntut untuk memiliki wawasan pendidikan dan pembelajaran yang luas. Pustakawan perlu memahami tentang pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning). Pembelajaran semacam ini sangat mendukung pembelajaran yang memotivasi siswa untuk tanggap terhadap persoalan yang ada di masyarakat, menyelesaikan masalah dengan belajar secara mendalam, mandiri, dan otonomus. Pustakawan dapat membantu siswa untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di era informasi ini siswa akan mendapatkan banyak informasi, tetapi tidak semua informasi menjadi lengkap dengan sendirinya, dapat dipercaya atau berguna. Dengan pembiasaan belajar yang demikian pustakawan telah membangun kemampuan pada diri siswa untuk bertindak seperti seorang profesional (Galernter, 2006).
Pustakawan juga perlu mendukung pemahaman bahwa setiap individu itu berbeda menurut bakat, keterampilan dan minatnya. Namun, sekalipun setiap individu berbeda, setiap individu perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar, dan menjadi anggota masyarakat yang berguna. Karena itu, seroang pustakawan adalah orang yang perlu memiliki wawasan yang sangat luas dan dapat mencari dan menggali minat siswa dalam mengembangkan rasa ingin tahu terhadap suatu bidang ilmu, kesenian atau keterampilan yang dapat bermanfaat. Ada yang menyukai otomotif; ada juga yang menyukai seni suara, seni teater, atau bahkan matematika, yang semuanya sama menurut nilai manfaatnya (Grant & Branch, 2005).
Peran pustakawan sekolah adalah mencari informasi termasuk melakukan seleksi informasi dari internet, mengorganisasikannya dan membuatnya lebih mudah untuk diakses oleh penggunanya melalui jaringan elektronik, dan juga menyediakan bantuan ICT bagi pengguna, sedapat mungkin 24 jam dalam sehari. Pustakawan juga perlu membuat program-program pendidikan dan belajar on-line yang dapat disatukan ke dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Kolaborasi antara bagian pengembangan koleksi dengan staf pengajar akan memastikan bahwa perpustakaan memiliki koleksi yang terbaik. Pustakawan juga perlu mengupayakan supaya perpustakaan sekolah berlangganan majalah elektronik, terutama yang dapat diperoleh secara cuma-cuma. Pustakawan juga dapat membantu guru dalam menyebarkan informasi dan bahan kepustakaan yang perlu dibaca siswa, setelah pustakawan dan guru berkoordinasi dalam menyebarkan informasi tentang isi setiap mata perlajaran, SAP yang dibuat oleh guru dan buku-buku atau alamat Web yang perlu diketahui oleh siswa, dan semua karya unggulan siswa, baik dari sekolah tempatnya mengabdi maupun sekolah lain, terutama yang telah memenangkan penghargaan-penghargaan khusus (Tam & Robertson, 2002).

F. ICT bagi Pembelajaran Elektronik
ICT semakin tidak dapat dikesampingkan dalam proses pembelajaran yang menyiapkan siswa untuk hidup di jaman ICT itu sendiri. Perpustakaan sekolah yang memungkinkan siswa belajar dengan menggunakan ICT adalah perpustakaan e-learning. Pustakawan yang mengelola perpustakaan e-learning tentu tidak sekedar memindahkan teks dari bahan cetakan menjadi teks di dunia maya. Namun, seperti pendidik yang lain, pustakawan sekolah perlu menciptakan lingkungan belajar maya, interaksi online dan lingkungan belajar yang terkelola secara efisien. Dalam hal ini siswa belajar secara elektronik atau e-learning yang memungkinkan fleksibitas dalam pembelajaran dan yang memungkinkan umpan balik dapat diperoleh dengan segera. E-learning sudah banyak digunakan untuk pelatihan dan belajar jarak jauh dan kurikulum berbasis Web. Memang ada orang yang tidak menyukai pembelajaran semacam ini, karena mengurangi inteaksi kemanusiaan, dan ketidakabadian komputer. (Wang & Hwang, 2004)

G. ICT Merupakan Investasi Jangka Panjang
Pada saat ini ICT masih dinikmati oleh siswa di daerah urban, dan lebih bersifat komersial. Bahkan keberadaan ICT belum dimanfaatkan anak untuk memaksimalkan belajar mereka. Karena itu, pustakawan sekolah perlu mengambil alih pemanfaatan ICT untuk pembelajaran siswa. Pustakawan hanya dapat melakukan fungsi ini, bila tersedia cukup dana.
Indonesia sebagai negara sedang berkembang sudah waktunya memikirkan bagaimana membelanjakan uang untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara umum, dan bukan hanya memberikan bantuan-bantuan yang bersifat sementara. Perpustakaan sudah waktunya membangun konsorsium untuk pendanaan dan juga untuk pelatihan staf dalam mengatasi perubahan yang ada dalam lingkungan belajar (Tam & Robertson, 2002).
Bila ICT tidak ditangani oleh pemerintah dan memungkinkan semua warga sekolah dan masyarakat dapat menikmatinya, maka pengadaan ICT yang sebagian-sebagian itu hanya akan menciptakan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Baik jurang pemisah antara Indonesia dengan negara maju, maupun kelompok yang lebih beruntung di Indonesia dan kelompok yang kurang beruntung.

H. Kesimpulan
Perpustakaan on-line memang tidak mudah untuk diadakan di sekolah-sekolah karena keterbatasan sumber daya yang kita miliki, tetapi perpustakaan on-line sudah merupakan sebuah tuntutan yang tidak dapat kita hindari—bukan sekedar fasilitas yang penting, tetapi fasilitas yang wajib ada untuk investasi jangka panjang. Bahkan semakin terpencil letak sebuah sekolah sebenarnya sekolah itu semakin membutuhkan perpustakaan on-line.
Dengan jejaring internet yang sudah dimiliki sekarang, sebenarnya Indonesia telah memiliki modal dasar bagi perpustakaan on-line, yang memungkinkan setiap siswa—bukan siswa di daerah urban saja--memperoleh haknya dalam hal aksesibilitas, konektifitas, pendidikan dan informasi yang dapat dimengerti dan dimanfaatkan oleh siswa. Perpustakaan on-line yang diberdayakan dalam pendidikan formal, informal dan non-formal akan memperkuat keterampilan informasi siswa dalam membangun masyarakat berbasis pengetahuan.
Dengan adanya perpustakaan on-line, pustakawan sekolah perlu mendapatkan pelatihan kembali. Bilamana hal ini tidak dilakukan perpustakaan sekolah akan terkalahkan oleh produsen informasi. Seorang pustakawan sekolah tidak akan lagi mengukur keberhasilannya dengan menghitung berapa orang yang datang mengunjungi perpustakaannya, tetapi seberapa jauh aksesibilitas informasi yang dapat ditawarkan oleh perpustakaannya itu. Pustakawan perlu memahami tentang e-learning, dan dengan demikian perpustakaan yang dikelolanya adalah perpustakaan e-learning.

Tidak ada komentar: